Cari Blog Ini

Halaman

Rabu, 07 Maret 2018

Haidh (Menstruasi)

Maret 07, 2018 0 Comments
Ilustrasi Wanita Haidh (Menstruasi)

A.     Definisi Haid
Secara etimologi (bahasa) haid berarti aliran atau sesuatu yang mengalir. Adapun pengertian haid secara terminologi (istilah) yaitu darah yang mengalir dari dasar rahim seorang wanita usia aqil baligh, yang bukan karena disebabkan oleh suatu penyakit atau karena adanya proses persalinan, serta terjadi pada hari-hari tertentu dan berulang pada periode (waktu) tertentu dimana keluarnya darah itu merupakan sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita.[1]
Dalam lanskap ilmu kedokteran modern, haid adalah meluruhnya jaringan endometrium karena tidak adanya telur matang yang dibuahi oleh sperma. Realita tersebut merupakan hal yang alami, dan setiap wanita normal pasti mengalaminya, karenanya para pakar kedokteran menyebut haid sebagai pengeluaran secara periodik darah dan sel-sel tubuh dari vagina yang berasal dari dinding rahim wanita, yang dimulai saat pubertas untuk menandai kemampuan seorang wanita untuk mengandung anak.
Haid merupakan bagian dari proses reguler yang mempersiapkan tubuh wanita setiap bulannya untuk kehamilan. Siklus ini melibatkan beberapa tahap yang dikendalikan oleh interaksi hormon yang dikeluarkan oleh hipotalamus, kelenjar di bawah otak depan dan indung telur. Pada permulaan siklus, lapisan sel rahim mulai berkembang dan menebal. Hormon memberi sinyal pada telur di dalam indung telur untuk mulai berkembang. Tak lama kemudian, sebuah telur dilepaskan dari indung telur wanita dan mulai bergerak menuju tuba falopi terus ke rahim. Bila telur tidak dibuahi oleh sperma lapisan rahim akan berpisah dari dinding uterus dan mulai luruh serta akan dikeluarkan melalui vagina. Periode pengeluaran darah inilah yang disebut haid atau menstruasi.[2]


B.     Warna Darah Haid
Ada dalil otentik yang berasal dari sabda Rasul SAW, bahwa warna darah haid adalah hitam, “Darah haid itu hitam dan dikenali realitanya warna darah haid yang umum dijumpai pada wanita yang sedang haid juga berwarna merah tua (membara), kekuning-kuningan, keruh (seperti warna air yang kotor) dan turbat (seperti warna tanah). Semua warna darah tersebut, apabila masa haid habis tidak lagi disebut haid, tetapi disebut Al-Irqu (darah yang berasal dari pembuluh darah) serta tak ada larangan shalat maupun puasa.
Imam Syafi’i menjelaskan, warna darah haid itu ada lima, yaitu :
1.      Hitam (paling dominan).
2.      Merah membara.
3.      Coklat (seperti wama tanah).
4.      Kekuning-kuningan.
5.      Keruh (seperti warna air yang kotor).
Imam Hanafi menuturkan, warna darah haid itu ada enam, yaitu :
1.      Hitam
2.      Merah
3.      Kuning
4.      Hijau
5.      Seperti warna tanah
6.      Seperti warna air keruh.
Tentunya warna-warna yang disebutkan di atas adalah warna darah semasa waktu haid, adapun paska haid apapun bentuknya oleh Rasul SAW. cairan/darah itu dianggap Irq (darah yang berasal dari pembuluh darah).[3]


C.     Masa Haid
Haid terjadi pada wanita saat memasuki usia aqil baligh. Usia produktif wanita umumnya pada kisaran sembilan tahun ke atas serta berakhir sampai pada usia menopause (berhenti haid). Jika terlihat darah sebelum atau sesudah umur tersebut, maka itu adalah darah penyakit atau wanita tersebut sedang mengalami pendarahan.
Tidak ada rujukan nash Al Quran maupun teks hadits Rasul SAW. yang memastikan waktu akil baligh maupun menopause wanita. Akan tetapi, ketika seorang wanita baik usia muda maupun tua mendapati ada darah hitam yang keluar dari alat reproduksinya maka itulah yang disebut haid, ia tidak dibolehkan shalat serta melakukan ibadah lainnya. Rasul SAW. bersabda, “Darah haid itu hitam dan dikenali (oleh kaum wanita). Jika demikian adanya, maka hendaknya kamu berhenti shalat.”
Rasulullah SAW. juga menegaskan haid merupakan kodrat kewanitaan setiap perempuan, yang telah digariskan Allah kepada kaum Hawa, "Itu adalah suatu perkara yang telah ditetapkan Allah Azza wa Jalla atas kaum wanita anak keturunan Adam. Maka lakukanlah apa yang biasa dilakukan...” Dan haid itu oleh Rasul SAW. ditandai dengan adanya darah hitam yang keluar dari alat reproduksi wanita. Rasul SAW. juga menambahkan setiap wanita pasti mengenali darah hitam itu. Dengan demikian, kapanpun seorang wanita melihat darah hitam keluar dari rahimnya, berapapun umurnya, maka ia disebut wanita haid. Inilah pendapat mayoritas para alim fiqih perihal waktu haid. Para ahli anatomi dan fisiologi menuturkan, masa haid wanita dimulai pada usia sembilan tahun hingga usia menopause. Demikian pula dengan pendapat para alim fiqih.
Imam Syafi’i mengemukakan, tidak ada batasan waktu tertentu untuk menentukan waktu menopause (wanita tidak lagi haid). Tetapi, kebanyakan menopause terjadi pada usia 62 tahun. Imam Ahmad bin Hambal menyebutkan masa menopause pada kisaran umur 50 tahun. Imam Malik menyebutkan usia menopause wanita adalah 70 tahun. Imam Hanafi menyebutkan bahwa usia menopause wanita 55 tahun.
Jika kita jeli mencermati pendapat-pendapat para ulama fiqih tersebut, dasar argumen mereka murni berdasarkan pengamatan (studi lapangan) mereka terhadap ihwal wanita zaman mereka. Dan sama sekali tidak terkait dengan teks-teks syariat.[4]


D.    Durasi Waktu Haid
Tidak ada batasan atau rentang waktu tertentu tentang terjadinya haid pada kaum wanita. Sebab, masing-masing wanita berbeda kondisi dan keadaannya. Demikian halnya dengan waktu dan rentang haid yang mereka alami juga berbeda, sebagaimana perbedaan mereka dalam bereproduksi, permulaan akil baligh, serta masa menopause. Tidak ada keseragaman waktu dan ketentuan waktu untuk semua itu karena hal tersebut berpulang kepada takdir masing-masing wanita.
Ada wanita yang siklus haidnya teratur yakni datang bulan pada waktu yang sama perbulannya, demikian pula dengan berhentinya haid juga berlangsung dalam kurun waktu yang sama setiap bulannya. Akan tetapi, tidak sedikit kaum wanita yang mengalami haid tak teratur. Tidak bisa dipastikan kapan datangnya haid dan tidak diketahui kapan berakhirnya. Kadang ada yang terlambat haid, kadang pula haid datang sebelum waktunya. Realita tersebut berkaitan erat dengan kondisi fisik maupun psikologis masing-masing wanita, juga bisa disebabkan oleh temperatur udara maupun pola hidup masing-masing wanita.
Para ahli medika, anatomi dan fisiologi mengemukakan bahwa “Rentang waktu (lama dan cepat) masa haid yang dialami wanita, satu sama lain berbeda disebabkan oleh banyak faktor yang melingkupi masing-masing wanita. Karenanya, sangat tidak logis menentukan batasan masa berlangsungnya haid wanita, baik batasan waktu tercepat maupun terlama, sebab tidak ada konsesus teks (Quran dan hadits Nabi) yang meyatakan detil waktu ataupun batasan yang dijalani wanita saat haid (datang bulan).
Imam Syafi'i dan Hambali mengemukakan, batas waktu tercepat masa berakhirnya haid adalah sehari semalam. Umumnya masa haid berakhir dalam waktu enam atau tujuh hari. Batas waktu paling lama berlangsungnya haid adalah lima belas hari.
Imam Hanafi menuturkan, batas waktu tercepat masa berlangsungnya haid adalah tiga hari tiga malam. Umumnya berlangsung lima hari, sedangkan batas waktu terlama masa haid adalah sepuluh hari.
Imam Malik menjelaskan, tidak ada batasan waktu tertentu bagi waktu tercepat maupun terlama masa berlangsungnya haid. Imam Malik juga menuturkan, tidak ada arahan teks yang menunjukkan detil waktu masa terlangsungnya haid, kalaupun ada yang mengusung dalil tekstual, dapat dipastikan hadits-hadits yang dipakai berasal dari hadits Dha’if (lemah) yang tidak bisa dipakai dasar argumen perumusan hukum.
Dengan demikian jelas sekali, pendapat para alim ulama fiqih yang berpendapat tentang batas waktu (tercepat maupun terlama) masa berlangsungnya haid adalah murni berdasarkan fikrah (gagasan mikiran) mereka, yang bepijak pada realita kehidupan wanita zaman masing-masing. Sedangkan Al Quranul Karim dengan jelas tidak menyebut durasi waktu maupun batasan (tercepat dan terlama) masa berlangsungnya haid. Seperti yang terkandung dalam firman Allah Ta’ala dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 222 berikut :
Artinya :
Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah : Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa haid itu adalah kotoran. Allah juga menegaskan untuk menjauhkan diri dari wanita haid sampai sang wanita suci dari haidnya, ayat tersebut sama sekali tidak menyebutkan batasan waktu dan durasi hari perihal masalah haid. Ayat tersebut juga merupakan penegasan bahwa haid inilah yang menjadi pokok hukum, jika ada haid berarti berlaku hukum yang terkait dengan haid, jika tidak ada haid maka tak berlaku pula hukum yang terkait dengannya.[5]


E.     Durasi Waktu Suci
Maksud suci dari haid ialah steril (bersih) wanita dari darah haid atau berhentinya aliran darah dari rahim wanita pada masa haid.
Adapun tanda bersih dari haid itu ada dua, yakni :
            1.      Darah kering.
            2.      Cairan putih jernih yang keluar di penghujung waktu haid.
Imam Hambali menuturkan, durasi waktu suci yang memisahkan dua haid (antara satu haid ke haid berikutnya) adalah tiga belas hari. Imam Syafi’i, Imam Malik juga Imam Hanafi menuturkan. Durasi waktu suci ialah lima belas hari. Para alim fiqih bersepakat bahwa tidak ada batasan waktu tertinggi (paling lama) terkait durasi waktu suci ini.
Semua argumen yang dikemukakan para ulama fiqih, murni berdasarkan realita kehidupan wanita zaman masing-masing. Dan cara paling (aman) untuk mengetahui dan menyikapi durasi waktu suci adalah tidak membatasi waktu tercepat ataupun terlama, tetapi mengembalikan masalah ini kepada kondisi masing-masing wanita. Sebab, antara satu wanita dengan wanita lain tidak sama kondisi fisik dan psikologisnya, hal tersebut pasti mempengaruhi percepatan maupun lambannya masa suci haid masing-masing. Lebih daripada itu, tidak ada dalil tekstual (baik Quran maupun Hadits) yang bisa dipakai rujukan untuk merumuskan masalah ini.[6]


F.      Tata Cara Mandi Setelah Haid
Ada perbedaan tata cara Thaharah (bersuci) antara kaum wanita dan kaum pria. Berikut ini hadits-hadits Rasulullah SAW. yang mengemukakan tentang Kayfiyat (tata cara) mandi besar wanita setelah haid.
Imam Ahmad berkata, “Mandi dari janabat adalah seperti yang disebutkan dalam hadits” Aisyah Radhiyallahu ‘anha, berkata :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ ، وَ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ.
Artinya :
“Apabila Rasulullah SAW. mandi junub, beliau memulainya dengan membasuh kedua tangannya tiga kali, kemudian wudhu’ seperti mau shalat dan menyiramkan air ke pangkal rambutnya dengan tangannya. Jika beliau menganggap air sudah sampai ke seluruh kulitnya, maka beliau menyiramkan air padanya tiga kali, kemudian membasuh seluruh anggota badannya.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan tentang mandi junub. Para ulama berkata, “Mandi haid sama dengan mandi junub.” Wanita disunnahkan untuk mandi menggunakan air yang dicampur dengan daun bidara, kemudian mengambil kain yang telah diberikan misk (pewangi) dan membersihkan tempat keluarnya darah dan tempat-tempat yang harus sampai air kepadanya di kemaluannya, untuk membersihkan sisa-sisa darahnya dan baunya. Jika tidak mendapatkan misk maka dapat menggunakan pewangi lainnya. Apabila tidak mendapatkan pewangi, maka air sudah cukup.
Hal ini disebutkan dalam hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
سَأَلَتِ امْرَأَةٌ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ تَغْتَسِلُ مِنْ حَيْضَتِهَا ، قَالَ فَذَكَرَتْ أَنَّهُ عَلَّمَهَا كَيْفَ تَغْتَسِلُ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهَّرُ بِهَا . قَالَتْ كَيْفَ أَتَطَهَّرُ بِهَا ، قَالَ تَتَهَّرِى بِهَا سُبْحَانَ اللهِ . وَاسْتَتَرَ ، قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ وَاجْتَذَبْتُهَا إِلَىَّ وَ عَرَفْتُ مَا أَرَادَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ تَتَّبَعِى بِهَا أَثَرَ الدَّمِ.
Artinya :
Bahwasanya seorang perempuan bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai mandi haid?, Rasulullah SAW. bersabda : “Salah seorang di antara kalian mengambil air dan daun bidara, kemudian memperbaiki mandinya. Setelah itu mengambil kain yang diberi misk  (pewangi) dan membersihkan diri dengannya”. Perempuan itu bertanya, “Bagaimana kami bersuci dengannya?”, Rasulullah SAW. menjawab, “Maha Suci Allah, kamu membersihkan diri dengannya! Asiyah, ia berkata, “Seakan-akan beliau merisihkan hal itu, aku katakan, “bersihkanlah bekas-bekas darah.”  (HR. Muslim)[7]
Dari uraian hadits-hadits Rasulullah SAW tersebut, ada beberapa catatan yang mesti diperhatikan kaum wanita saat mandi besar. Di antara hal-hal yang harus diperhatikan harus diperhatikan kaum wanita saat mandi besar, yaitu:
                  1.      Mengucapkan niat.
                  2.      Membaca basmalah.
            3.      Mencuci kedua telapak tangan tiga kali.
            4.      Mencuci farj (alat vital) serta bagian tubuh yang kotor (bekas darah) menggunakan air                         dan wewangian.
           5.      Memastikan bahwa bagian-bagian tubuh yang terkena kotoran (bekas darah haid)                                benar-benar telah terbilas air.
            6.      Berwudhu secara sempurna, sebagaimana wudhu untuk shalat.
           7.     Mengambil air dan mengalirkannya di kepala sebanyak tiga kali sehingga sampai ke akar                     rambutnya.
            8.      Mengalirkan air ke seluruh tubuh dan menggosok-gosokkan badannya dengan                                       tangannya.
            9.      Mengerjakannya dengan tertib dan mendahulukan bagian yang kanan.[8]







[1]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid, Lc., Fiqih Wanita : Dalam Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer (Surabaya : Pustaka Hikmah Perdana, 2010). Cet. 1. Hal. 23.
[2]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid, Lc., Fiqih Wanita : Dalam Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 24-25.
[3]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid, Lc., Fiqih Wanita : Dalam Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 31-32.
[4]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid, Lc., Fiqih Wanita : Dalam Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 33-34.
[5]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid, Lc., Fiqih Wanita : Dalam Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 34-36.
[6]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid, Lc., Fiqih Wanita : Dalam Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 39-40.
[7]Prof. DR. Shalih bin Abdullah Al-Laahim, MA. ; Penerjemah ; DR. Nurul Mukhlisin, Lc., M.Ag., Fiqih Darah Wanita, (Surabaya : Pustaka eLBA, 2015). Cet. 2. Hal. 96-97.
[8]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid, Lc., Fiqih Wanita : Dalam Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 3-4.

Selasa, 06 Maret 2018

Hukum Nun Sukun & Tanwin (Izhar & Iqlab)

Maret 06, 2018 1 Comments
Nun Sukun dan Tanwin


A.    Pengertian Nun Sukun
Nun Sukun (mati) adalah huruf Nun yang tidak berharakat, baik Fathah, Kasrah, maupun Dhammah. Nun Sukun bisa terletak sesudah isim, fi’il maupun huruf, juga bisa terletak di tengah kalimat atau di ujung kalimat. Keberadaan Nun Sukun akan selalu nyata, baik dalam bentuk tulisan, pengucapan, washal maupun waqaf. Maksudnya nyata terdengar suara (bunyi) Nun nya.[1]
Contoh-contoh keberadaan Nun Sukun dalam berbagai bentuk :

            1.      Bentuk kalimat Isim, Fi’il dan Huruf
Bentuk Kalimat
Contoh
Quran Surah
Isim
وَالْمُنْخَنِقَةُ
Al-Maidah : 3
Fi’il
يَنْحِتُوْنَ
Al-Hijr : 82
Huruf
عَنْ – مِنْ
Al Kahfi : 90
Ali Imran : 199


             2.      Bentuk kalimat Ashliyyah, Nun Sukun merupakan bagian dari akar kata
Bentuk Kalimat
Contoh
Quran Surah
Ashliyyah
اَنْعَمْنَا
Al-Isra’ : 83


              3.      Bentuk kalimat Zaidah, Nun Sukun merupakan tambahan terhadap akar kata
Bentuk Kalimat
Contoh
Quran Surah
Zaidah
فَانْفَلَقَ
Asy-Syu’ara : 63
  Asal kata dari “ فَانْفَلَقَ” adalah “ فَلَقَ” yang berwazan “فَعَلَ
              
              4.      Nun berharakat karena bertemunya dua sukun.[2]
Bentuk Kalimat
Contoh
Asal
Quran Surah
Nun berharakat karena bertemunya dua sukun
اِنِ ارْتَبْتُمْ
اِنْ ارْتَبْتُمْ
At-Thalaaq : 4
اِلَّا مَنِ ارْتَضَى
اِلَّا مَنْ ارْتَضَى
Al-Jin : 27


B.     Pengertian Tanwin
Tanwin menurut bahasa adalah At-Tashwit (التَّصْوِيْتُ) artinya suara seperti kicauan burung. Sedangkan menurut istilah ialah :
نُوْنٌ سَاكِنَةٌ تَلْحَقُ اخِرَ اْلإِسْمِ لَفْظًا وَوَصْلاً وَتُفَارِقُهُ خَطًّا وَوَقْفًا
“Nun Sukun yang terdapat pada akhir Isim yang tampak dalam bentuk suara (dan ketika Washal), tidak dalam penulisan dan pada saat Waqaf.”[3]
Contoh dalam hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :[4]
Tanwin
Tanda
Suara
Contoh
Fathah
ً
An
كِتَابًا
Kasrah
ٍ
In
كِتَابٍ
Dhammah
ٌ
Un
كِتَابٌ



C.    Perbedaan Nun Sukun Dan Tanwin
Perbedaan pokok antara Nun Sukun dan Tanwin, yaitu :
النُّوْنُ السَّاكِنَةُ تَثْبُتُ خَطًّا وَلَفْظًا وَوَصْلاً وَوَقْفًا
“Nun Sukun tetap nyata dalam penulisan maupun pengucapan, baik ketika washal maupun waqaf.”
التَّنْوِيْنُ فَإِنَّهُ تَثْبُتُ لَفْظًا وَوَصْلاً لَا خَطًّا وَلَا وَقْفًا
“(sedang) Tanwin tetap nyata (terdengar) dalam pengucapan dan ketika washal, tidak dalam penulisan maupun waqaf.”[5]


D.    Pembagian Nun Sukun dan Tanwin
          Hukum Nun Sukun dan Tanwin dibagi menjadi lima: izh-har halqi, idgham bighunnah, idgham bilaghunnah, iqlab dan ikhfa haqiqi.
            1.    Izh-har Halqi
            Terjadi : Apabila Nun Sukun atau Tanwin bertemu   ء ه ع ح غ خ
            Dibaca : Jelas
           2.    Idgham Bighunnah
           Terjadi : Apabila Nun Sukun atau Tanwin bertemu  ي ن م و
           Dibaca : Idgham (dimasukkan) dengan ghunnah
          3.    Idgham Bilaghunnah
          Terjadi : Apabila Nun Sukun atau Tanwin bertemu  ل ر
          Dibaca : Idgham (dimasukkan) tanpa ghunnah
          4.    Iqlab
          Terjadi : Apabila Nun Sukun atau Tanwin bertemu  ب
          Dibaca : Dirubah menjadi suara mim dengan ghunnah
         5.    Ikhfa haqiqi
         Terjadi : Apabila Nun Sukun atau Tanwin bertemu
ت ث ج د ذ ز س ش ص ض ط ظ ف ق ك
         Dibaca : Disamarkan dengan ghunnah[6]

Dalam pembahasan ini, hanya akan membahas tentang Izh-har Halqi dan Iqlab.
  1.    Izh-har Halqi
            Izh-har menurut bahasa adalah Al-Bayan (اَلْبَيَانُ) artinya jelas, Halqi artinya  tenggorokan. Sedang Izh-har menurut istilah ialah:
إِخْرَاجُ كُلِّ حَرْفٍ مِنْ مَخْرَجِهِ مِنْ غَيْرِ غُنَّةٍ فِى الْحَرْفِ الْمُظْهَرِ.
“Mengeluarkan setiap huruf dari makhrojnya tanpa memakai dengung pada huruf yang dibaca Izh-har.”

Izh-har menurut pengertian hukum Nun Sukun dan Tanwin adalah:
إِذَا دَخَلَ النُّوْنُ السَّاكِنَةُ اَو التَّنْوِيْنُ عَلَى أَحَدِ هذِهِ الْأَحْرُفِ السِّتَّةِ يُقَالُ لَهُ إِظْهَارٌ حَلْقِيٌّ.
“Apabila Nun Sukun atau Tanwin menghadapi salah satu dari huruf (Halq) yang enam, maka dinamakan Izh-har Halqi.”[7]

Enam huruf yang dimaksud yaitu  ء ه ع ح غ خ
Huruf enam itu disebut huruf halqi, karena makhraj-nya atau tempat keluar suara dari mulut, ada pada kerongkongan atau tenggorokan.[8] Dikatakan Izh-har Halqi karena jelasnya pengucapan Nun Sukun dan Tanwin ketika menghadapi huruf-huruf yang keluar dari Halq atau tenggorokan.[9]

Berikut contoh-contoh bacaan Izh-har Halqi.[10]
ء      :  مَنْ امَنَ      غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ
ه      :  مِنْ هَادٍ            جُرُفٍ هَارٍ
ع      :  اَنْعَمْتَ           سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
ح      :  يَنْحِتُوْنَ          عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
غ      :   مِنْ غِلٍّ           عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
خ      :   مِنْ خَوْفٍ      يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ
           
Adapun yang menjadi sebab (Illat) terjadinya hukum Izh-har adalah karena jauhnya makhraj. Huruf Izh-har keluar dari daerah kerongkongan (Halq) sedang makhraj Nun dan Tanwin berada di ujung lidah. Akan terjadi kesulitan pengucapan apabila diberi hukum lain. Demikian pula huruf Nun dan Tanwin termasuk huruf yang mudah pengucapannya sedang huruf Halqi termasuk berat, dengan demikian tidak mungkin diberi hukum Ikhfa apabila dengan Idgham.[11]

a.       Tingkatan Izh-har
Dilihat dari segi jauh dan dekatnya kedudukan enam huruf Izh-har, maka terjadi tiga tingkatan hukum Izh-har, yaitu:
1)        Izh-har A’la, Izh-har yang tinggi atau kuat, yaitu pada huruf Hamzah dan Ha’.
2)        Izh-har Ausath, Izh-har pertengahan, yaitu pada huruf ‘Ain dan Ha.
3)        Izh-har Adna, Izh-har yang rendah atau lemah, yaitu pada huruf Ghain dan Kha’.

b.      Cara mengucapkan Izh-har
      Secara teoritis, pengucapan Izh-har yang baik adalah dengan mengucapkan huruf Nun Sukun dan Tanwin sesuai dengan makhraj dan sifat yang dimilikinya kemudian diiringi pengucapan huruf Izh-har juga sesuai dengan makhraj dan sifatnya.
      Pengucapannya berlangsung dengan lunak tanpa terputus antara kedua huruf, tetapi tidak pula tercampur hingga keluar suara baru mirip Qalqalah. Masing-masing huruf diucapkan sesuai ketentuannya dengan lembut tanpa dipaksa.

c.       Sifat ghunnah huruf nun
      Ghunnah atau dengung merupakan sifat asli dari huruf nun. Dengan terjadinya huruf Izh-har, apakah sifat ghunnah tersebut masih ada atau menjadi hilang? Sebagian ahli tajwid berpendapat bahwa dengan terjadinya Izh-har, sebelum mengucapkan Izh-har, ghunnah nun telah hilang. Sebagian lagi berpendapat bahwa ghunnah tetap ada dan tidak terpengaruh dengan adanya Izh-har.
      Dalam masalah ini, Syaikh Al-Mar’asyi memberi komentar bahwa perbedaan pendapat itu sebenarnya hanya dari segi istilah saja. Bagi yang mengatakan ghunnah-nya hilang, maksudnya ghunnah tersebut tidak nampak dengan jelas seperti pada waktu Idghom atau Ikhfa. Sedang bagi yang mengatakan tetap ada, maksudnya secara fakta pengucapan nun tidak akan terlepas dari ghunnah, sebab ghunnah merupakan sifat nun yang asli. Apabila tidak terdapat ghunnah, jelas bukan huruf nun yang terdengar.[12]


2.    Iqlab
Iqlab menurut bahasa ialah
تَحوِيلُ الشئِعَن وَجهه
memindahkan sesuatu dari asalnya (kepada bentuk lain).”



Iqlab dalam pengertian hukum nun mati dan tanwin adalah:
النونُ وَالتَنْوِينُ اذا وَقَعاَ قَبْلَ الْباءِ يُقَلِباَنِ مِيْماً مُخَفَةً في الفظِ لاَفي الْخطِ
apabila nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf Ba’ (ب), maka keduanya ditukar dengan huruf mim(م), tetapi hanya dalam bentuk suara, tidak dalam bentuk tulisan.”

Menurut Etimologi Iqlab adalah mengubah sesuatu dari bentuknya. Adapun menurut terminology, iqlab adalah mengubah nun mati (sukun) dan tanwin menjadi mim saat bertemu ba’, disamarkan dengan ghunnah.
Contoh:
(سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ), (جَزَاءً بِماَ), (شَيْءٌ بَصِيْرٌ), ( (مِنْ بَعْدٍ, (أنْ بُوْرِكَ), (اَنْبِئهُمْ)

Tanda iqlab nun sukun dalam tulisan mushaf adalah mim kecil di atas nun sebagai ganti sukun  (ن).
Contoh:
( (مِنْ بَعْدٍ, (أنْ بُوْرِكَ), (اَنْبِئهُمْ)

Tanda iqlab tanwin adalah tulisan mushaf adalah mim kecil sebagai ganti harakat kedua yang menunjukkan tanwin. Bentuknya seperti ini :
Contoh:
(سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ), (جَزَاءً بِماَ), (شَيْءٌ بَصِيْرٌ)[13]

Iqlab adalah apabila nun mati (نْ) atau tanwin (ً/ٍ/ٌ ) bertemu  dengan huruf ب, bunyinya menjadi mim mati (مْ) dengan catatanmemelihara ikhfanya مْ kedalamب disertai tempo dengung / ghunnah 2 harakat.[14]

Cara Membaca Iqlab
Cara membaca Iqlab adalah dengan menguah suara Nun Mati atau Tanwin menjadi mim. Kedua bibir dirapatkan untuk mengeluarkan bunyi yang dibarengi dengung (sengau) yang keluar dari pangkal hidung. Kemudian ditahan sejenak kira-kira dua ketukan sebagai tanda bahwa disana ada terdapat huruf  iqlab.[15]
Contoh :
سَيِئَةٌبِماَ – اَنْبِئهُمْ – مِنْ بَعْدٍ                 : ب

Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh jumhur ulama tentang terjadinya hukum iqlab yaitu:
a)      Karna huruf nun dan tanwin mengandung ghunnah sedangkan untuk mengucap huruf    Ba’ bibir harus tertutup , ini akan mengakibatkan terhalangnya ghunnah apabila dibaca dengan idzhar.
b)      Antara huruf  Nun dan Tanwin dengan huruf  Ba’ berbeda makhroj dan sifat, karena itu ia tidak mempunyai sifat untuk dibaca idghom.
c)      Apabila dibaca dengan ikhfa’ juga tidak mungkin. Karna berarti masih diantara izhar dan idghom.

Karenanya cara yang terbaik adalah dengan menukar huruf  Nun mati atau Tanwin dengan huruf  Mim. Disamping arena huruf mim mempunyai sifat yang sama dengan Nun, yakni Ghunnah, juga karna makhroj keduanya sama dengan Ba’, sehingga pengucapannya menjadi mudah dan sifat ghunnahnya tidak menjadi hilang.
Sementara itu ada pendapat mengatakan bahwa hukum iqlab ini sebenarnya tidak termasuk kedalam hukum ikhfa, karena suara Nun atau Tanwin tersembunyi. Saja dalam ghunnahnya. Oleh karena itu, hukum bacaan itu bacaan yang terjadi dalam masalah Nun Mati dan Tanwin ini hanya ada tiga yaitu idzhar, idghom dan ikhfa. Namun demikian dari segi pengucapannya tidak terjadi perbedaan.[16]


E.     Kesalahan-Kesalahan Paling Menonjol Saat Melafalkan Nun Sukun Dan Tanwin
           1.      Membaca nun sukun dan tanwin dengan izh-har ketika bertemu dengan huruf-huruf  idgham,              iqlab, dan ikhfa’.
           2.      Meng-idgham-kan nun sukun dan tanwin ketika bertemu wawu dan ya’ tanpa ghunnah.
           3.      Membiarkan terjadi celah di antara dua bibir saat mengubah  nun sukun dan tanwin menjadi                  mim yang disamarkan, seperti pada contoh berikut: (مِنْ بَعْدِ). Ini hal baru yang                                    dibuat-buat.
           4.    Mulut berada pada satu kondisi saja saat melafalkan huruf-huruf ikhfa’ secara keseluruhan.                  Contoh : (مَنْصُوْرًا),(مِّن دُونِ).
           5.      Memperpanjang durasi ghunnah melebihi yang seharusnya.
 Contoh : (فَلَن نَّزِيْدَكُمْ) , (مِنْ قَبْلِ) ,(مِنْ هَادٍ).
          6.      Meng-ikhfa’-kan nun sukun dan tanwin saat bertemu ghain dan kha’(diluar qiraah Abu                         Ja’far).  Contoh : (مِّنْ خَيْرٍ ,(أَجْرٌ غَيْر) [17]







[1]Moh. Wahyudi. Ilmu Tajwid Plus. (Surabaya: Halim Jaya, 2007). Cet. 1. Hal. 91.
[2]Moh. Wahyudi. Ilmu Tajwid Plus..... Hal. 92.
[3]Moh. Wahyudi. Ilmu Tajwid Plus..... Hal. 92.
[4]Moh. Wahyudi. Ilmu Tajwid Plus..... Hal. 93.
[5]Moh. Wahyudi. Ilmu Tajwid Plus..... Hal. 93.
[6]Abu Ya’la Kurnaedi dan Nizar bin Sa’ad Jabal. Metode As-Syafi’i: Cara Praktis Baca Al-Quran dan ilmu Tajwid. (Jakarta: Pustaka Imam As-Syafi’i, 2010). Hal. 66.
[7]Moh. Wahyudi. Ilmu Tajwid Plus..... Hal. 93.
[8]KH. Imam Zarkasyi. Pelajaran Tajwid. (Gontor Ponorogo: Trimurti Press, 1955). Cet. 1. Hal. 1.
[9]Moh. Wahyudi. Ilmu Tajwid Plus..... Hal. 94.
[10]Masruri, dkk. Belajar Mudah Membaca Al-Quran Tajwid Dasar Ummi. (Surabaya: Lembaga Ummi Foundation, 2007). Hal. 1.
[11]Moh. Wahyudi. Ilmu Tajwid Plus..... Hal. 94.
[12]Moh. Wahyudi. Ilmu Tajwid Plus..... Hal. 94-95.
[13]Dr. Aiman Rusydi Suwaid. Panduan Ilmu Tajwid  Bergambar Mudah dan Praktis. (Solo: Zamzam, 2015) . Hal  96.
[14]Dr. H. Ahmad Fathoni, Lc. , MA., Metode Maisura Berbasis Teori-Praktek-Pelatihan, (Jakarta: Fakultas Tarbiyah IIQ Jakarta dan Institut PTIQ Jakarta, 2011). Hal 38.
[15]Moh. Wahyudi. Ilmu Tajwid Plus..... Hal. 100.
[16]Moh. Wahyudi. Ilmu Tajwid Plus..... Hal. 100.
[17]Dr. Aiman Rusydi Suwaid. Panduan Ilmu Tajwid ...... . Hal. 99-100. 

Postingan Populer

Wikipedia

Hasil penelusuran

Total Tayangan Halaman