Cari Blog Ini

Halaman

Selasa, 06 Maret 2018

Warisan dalam Alquran (Ayat dan Tafsirnya)





A.    Definisi Waris
Di dalam Kamus Al-Munawwir, kata Al-Waarits ( الوَارِثُ )  berasal dari kata waritsa ( وَرِثَ ) - yaritsu ( يَرِثُ ) - wartsan ( وَرْثًا ) - waaritsan ( وَارِثًا ) - turaatsan ( تُرَاثًا ) yang artinya mewaris harta, waris, ahli waris atau turun-temurun.[1] Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Adapun pengertian waris menurut istilah (terminologi) ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.[2]

B.     Beberapa Istilah Dalam Waris
Adapun istilah-istilah yang digunakan dalam waris, di antaranya :
1.      Waarits, yaitu orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris yang sesungguhnya me­miliki hubungan kekerabatan yang dekat, akan tetapi tidak berhak mendapatkan warisan itu. Ahli waris semacam ini disebut dengan Dzawi Al-Arham[3]. Hak-hak waris dapat timbul karena hubungan darah, karena hubungan sebab perkawinan dan karena akibat hukum memerdekakan budak.
2.      Muwarrits, yaitu orang yang diwarisi harta benda peninggalannya, yaitu orang-orang yang meninggal dunia, baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau karena melalui keputusan hakim. Seperti orang yang hilang dan tidak diketahui kabar berita dan domisilinya. Setelah melalui pencarian dan persaksian atau tenggang waktu tertentu hakim memutuskan bahwa ia dinyatakan meninggal dunia melalui keputusan hakim.
3.      Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat yang dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.
4.      Al-Irts, harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris sesudah diambil untuk keperluan pemeliharaan jenazah, pelunasan hutang serta pelaksanaan wasiat.
5.      Waratsah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi-bagi, karena menjadi milik kolektif semua ahli waris.[4]

C.    Rukun Waris
Rukun waris ada tiga, yaitu :
1.      Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
2.      Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau me­nerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan ke­kerabatan (nasab), ikatan pernikahan, atau lainnya.
3.      Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.[5]



D.    Syarat Waris
Syarat-syarat waris ada tiga, yaitu :
1.      Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
2.      Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3.      Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.[6]
Di bawah ini akan diuraikan tentang penjelasan dari ketiga syarat waris          di atas, yaitu :
1.      Meninggalnya pewaris, baik secara hakiki ataupun secara hukum ialah bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketa­hui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim mem­vonisnya sebagai orang yang telah meninggal. Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun kea­daannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelan ia meninggal.
2.      Masih hidupnya para ahli waris, maksudnya pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi. Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal da­lam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
3.      Diketahuinya posisi para ahli waris. Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan ke­pada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ashhab al-furudh,[7] ada yang karena ashabah,[8] ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub)[9], serta ada yang tidak terhalang.[10]

E.     Hak-Hak Yang Wajib Ditunaikan Sebelum Warisan Dibagi Kepada Ahli Waris
Hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum harta warisan dibagi kepada ahli waris ada tiga, yaitu :
1.      Biaya perawatan jenazah (tajhiiz al-janaazah)
2.      Pelunasan hutang (wafaa’ ad-duyun)
3.      Pelaksanaan wasiat (tanfiz al-wasaayaa)[11]



Untuk lebih jelasnya ketiga kewajiban tersebut akan diuraikan lebih detail sebagai berikut :
1.      Biaya Perawatan Jenazah
Perawatan jenazah yang dimaksudkan ialah meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan sejak orang tersebut meninggal dunia, dari biaya memandikan, mengafani, mengantar (mengusung) jenazah dan menguburkannya. Besarnya biaya tidak boleh terlalu besar dan juga tidak boleh terlalu kurang, tetapi dilaksanakan secara wajar.
Menurut Imam Ahmad, biaya perawatan harus didahulukan daripada membayar hutang. Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Imam Syafi’i mengatakan, bahwa pelunasan hutang harus didahulukan. Alasannya, jika utang tidak dilunasi terlebih dahulu, jenazah itu ibarat tergadai.
Termasuk dalam pengertian biaya perawatan adalah semua biaya yang dikeluarkan semasa muwarrits[12] sakit menjelang kematiannya. Tentu saja apabila harta yang ditinggalkannya mencukupi, atau bahkan tidak ada sama sekali, dan dari mana biaya tersebut harus diambil.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Apabila harta yang ditinggalkan si mayit tidak mencukupi, maka harta yang ada itu dimanfaatkan, kekurangannya menjadi tanggungan keluarga. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah membatasi pada keluarga yang menjadi tanggungannya ketika si muwarrits masih hidup. Alasannya, karena semasa hidup muwarrits, merekalah yang memperoleh kenikmatan dibiayai hidupnya oleh si muwarrits, mereka pula yang menerima harta warisan jika ada kelebihan. Karena itulah, wajar jika mereka juga harus bertanggungjawab untuk memikul biaya perawatan.
Apabila muwarrits tidak mempunyai keluarga, maka biaya diambilkan dari baitul-mal[13]. Jika baitul-mal tidak berfungsi, maka penyelesaiannya dimintakan kepada orang-orang Islam yang kaya (mampu) dan mau membantu sebagai pemenuhan kewajiban kifayah (kolektif). Sebab kalau tidak ada seorang pun yang bersedia membiayainya, maka semua orang Islam di lingkungan tersebut akan menanggung dosa.
Pendapat yang berbeda dikemukakan Ulama Malikiyah, bahwa biaya perawatan tersebut diambil dari baitul-mal, tanpa harus membebani keluarga atau kaum muslimin. Pendapat ini mempunyai celah kelemahan. Karena boleh jadi, keluarga akan lebih leluasa untuk tidak bertanggungjawab terhadap perawatan keluarganya yang meninggal dunia.[14]
2.      Pelunasan Hutang
Hutang merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu (yang disepakati) sebagai akibat dari imbalan yang telah diterima orang yang berhutang. Apabila seseorang yang meninggal dunia ternyata meninggalkan hutang pada orang lain yang belum dibayar, maka sudah seharusnya hutang tersebut dilunasi terlebih dahulu dan diambil dari harta peninggalannya, sebelum harta itu dibagikan kepada ahli waris.
Para ulama mengklasifikasikan hutang pada dua macam, yaitu :
a.       Hutang kepada sesama manusia (dain al-‘ibad).
b.      Hutang kepada Allah (dain Allah).
Hutang kepada sesama manusia, ditinjau dari segi teknis pelaksanaannya dibagi dua, yaitu hutang yang berhubungan dengan wujud harta (utang gadai) disebut dengan dain ‘ainiyah, dan yang kedua hutang yang bersangkutan dengan wujud harta disebut dengan dain muthlaqah. Dain muthalaqah jika dilakukan pada waktu sehat dan dapat dibuktikan disebut dain shihah, dan apabila dilakukannya pada waktu sakit serta tidak ada bukti-bukti kuat disebut dengan dain maradh.



Pertanyaannya adalah, hutang mana yang harus didahulukan? Apakah hutang kepada sesama manusia (dain al-i’bad)  atau hutang kepada Allah (dain Allah). Para ulama berbeda pendapat dalam menjawab pertanyaan ini.
a.       Ulama Hanifah berpendapat bahwa hutang kepada Allah telah gugur bersamaan dengan kematian seseorang. Peristiwa kematian, dengan sendirinya menghilangkan kemampuan seseorang dan menghapus beban hukum yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Ahli waris tidak lagi berkewajiban melunasi hutangnya. Ibadah haji misalnya, meskipun pada waktu hidupnya orang yang meninggal sudah mampu, tetapi belum dilaksanakan, dan terdapat sisa harta yang mencukupi untuk biaya haji itu, ahli warisnya tidak wajib membayar biaya haji tersebut.
b.      Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa hutang kepada sesama manusia (dain al-‘ibad) didahulukan pelunasannya daripada hutang kepada Allah (dain Allah). Argumentasi mereka, manusia sangat membutuhkan agar hutang-hutangnya dilunasi, karena orang yang berpiutang tentu sangat membutuhkannya, kecuali hutang itu dibebaskannya. Sementara Allah Maha Kaya, karena itu tidak memerlukan hutang-hutang manusia kepada-Nya dilunasi. Di dalam pelaksanaan pelunasan hutang, dain ‘ainiyah didahulukan dari pada dain muthlaqah. Pendapat Fuqaha Hanafiyah dalam dain al-‘ibad.
c.       Ibn Hazm Al-Andalusy dan Ulama Syafi’iyah berpendapat, bahwa dain Allah didahulukan daripada dain al-‘ibad. Dain ‘ainiyah didahulukan daripada dain muthlaqah.
d.      Mazhab Hanabilah memandang dain Allah dan dain al-‘ibad sama-sama harus dilunasi, apabila harta peninggalannya mencukupinya. Jika terjadi kekurangan, maka harus dibayarkan secara seimbang menurut porsi harta yang ada. Pada dain al-‘ibad, dain ‘ainiyah didahulukan daripada dain muthlaqah.[15]
3.      Pelaksanaan Wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak kebendaannya kepada orang lain, yang berlakunya apabila yang berwasiat itu meninggal dunia. Wasiat merupakan tindakan yang bersifat sukarela tanpa dipengaruhi oleh siapa pun. Apabila seseorang meninggal dunia dan semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaannya kepada suatu badan atau seseorang, maka wasiat itu wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalannya dibagi kepada ahli warisnya.
Sebagian ulama, seperti Ibn Hazm berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu ‘ain[16]. Imam Abu Dawud dan para Ulama Salaf juga berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib. Argumentasi yang mereka kemukakan adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 180 sebagai berikut :
Artinya :
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah : 180)
Berdasarkan petunjuk ayat tersebut di atas, wasiat yang dilaksanakan adalah kepada kedua orang tua dan kerabat-kerabat yang karena suatu hal tidak dapat menerima warisan. Ayat di atas, kata mereka, meskipun lahiriahnya bersifat umum, yang dimaksudkan adalah khusus, yaitu mereka yang tidak mendapat bagian warisan, diberikan bagian untuk menerima wasiat.
Imam Malik berpendapat, jika si mati tidak berwasiat, tidak perlu dikeluarkan harta untuk melaksanakan wasiat. Apabila berwasiat, maka diambil 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Berbeda dengan Imam Malik dan Imam Syafi’i, menurutnya, apabila si mati tidak berwasiat, tetap diambil sebagian hartanya untuk wasiat, sebagai perlaksanaan wasiat wajibah.
Apabila orang yang meninggal berwasiat, maka harus dilaksanakan wasiatnya. Tetapi apabila yang meninggal itu tidak berwasiat, maka tidak perlu dilaksanakan wasiat wajibah. Mayoritas ulama berpendapat bahwa ketentuan hukum wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat lainnya diwajibkan adalah berlaku pada masa awal Islam. Ketentuan wasiat ini, yang diatur dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 180 tersebut kemudian di nasakh dengan Q.S. An-Nisa ayat 11-12 yang mengatur secara detail para ahli waris yang mendapat bagian tertentu. Oleh karena itu, bagi orang tua dan kerabat, baik yang menerima bagian warisan atau tidak, telah tertutup haknya untuk menerima wasiat.
Dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa wasiat kepada orang tua dan kerabat tidak dapat dibenarkan secara hukum. Untuk mengetahui apakah seorang telah melakukan wasiat atau tidak, hendaknya dibuktikan melalui keterangan saksi atau dengan bukti-bukti tertulis yang autentik.
Apabila memang terbukti bahwa seseorang telah melakukan wasiat sebelum harta peninggalanya dibagi, wasiat yang dibuat harus dilaksanakan. Ketentuannya, maksimal 1/3 dari harta peninggalan yang siap dibagi. Apabila si mati tidak berwasiat, jika dipandang perlu dan ahli warisnya menyetujui, dalam usaha mewujudkan keadilan, maka dapat dilaksanakan wasiat wajibah kepada ahli waris yang tidak mendapat bagian.
Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa harta warisan dibagi kepada ahli waris setelah terlaksananya perawatan jenazah, pelunasan hutang-hutang dan wasiat orang yang meninggal. Ini dimaksudkan agar orang yang meninggal dunia dalam menghadap Allah tidak terhalang oleh tanggungjawabnya yang belum terselesaikan.[17]

F.     Sebab-Sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris :
1.      Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2.      Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersenggama) antarkeduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapat hak waris.
3.      Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala an-ni’mah. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.[18]

G.    Derajat Ahli Waris
Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai per­bedaan derajat dan urutan. Berikut ini akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya :
1.      Ashhabul Furudh, yaitu orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al Quran, As-Sunnah, dan ijma'. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan.
2.      Ashabah Nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, haruslah ‘ashabah nasabiyah menerima bagian. ‘Ashabah nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kan­dung pewaris, paman kandung, dan seterusnya.
3.      Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidak berhak menerima tam­bahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan keke­rabatan karena nasab lebih utama mendapatkan tambahan di­bandingkan lainnya.
4.      Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim tidak termasuk ashhabul furudh juga ‘ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak perempuan. Maka bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh tidak pula ‘ashabah, para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.
5.      Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dan ‘asha­bah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seper­empat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisa­nya merupakan tambahan hak warisnya. Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.
6.      ‘Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para ‘ashabah karena sebab ialah orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, dan seba­gai ‘ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.
7.      Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di sini ialah orang lain, artinya bukan salah seorang dari ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya. Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali ber­pendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris bila memang wasiatnya demikian.
8.      Baitul-mal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat maka seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan umum.[19]

H.    Para Ahli Waris
Ahli waris yang berhak menerima harta warisan terbagi menjadi dua golongan, yaitu ahli waris dari golongan laki-laki dan ahli waris dari golongan perempuan.
Di dalam kitab “Is’aaful Khaaidh Fii ‘Ilmi Al-Faraaidh” karangan    H. Muhammad Syukri Bin Unus Al-Banjari, beliau menyatakan bahwa ahli waris dari golongan laki-laki ada 15 (lima belas) dan ahli waris dari golongan perempuan ada 10 (sepuluh).[20]
Ahli waris dari golongan laki-laki ada 15 (lima belas), yaitu :
1.         Anak laki-laki
2.         Cucu laki-laki (dari keturunan anak laki-laki)
3.         Ayah
4.         Kakek (dari pihak bapak)
5.         Saudara kandung laki-laki
6.         Saudara laki-laki seayah
7.         Saudara laki-laki seibu
8.         Anak laki-laki dari saudara kandung laki-laki
9.         Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu
10.     Paman (saudara kandung ayah)
11.     Paman (saudara ayah seayah)
12.     Anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah)
13.     Anak laki-laki paman seayah
14.     Suami
15.     Laki-laki yang memerdekakan budak.[21]
Adapun ahli waris dari golongan perempuan ada 10 (sepuluh), yaitu :
1.         Anak Perempuan
2.         Cucu Perempuan (dari keturunan anak laki-laki)
3.         Ibu
4.         Nenek (dari pihak ibu)
5.         Nenek (dari pihak ayah)
6.         Saudara kandung perempuan
7.         Saudara perempuan seayah
8.         Saudara perempuan seibu
9.         Istri
10.     Perempuan yang memerdekakan budak.[22]



I.       Penggugur Hak Waris
Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga, yaitu :
1.      Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal) atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak).[23]
2.      Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Ada perbedaan dikalangan Fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan, yaitu :
a.       Mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
b.      Mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.
c.       Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishas, membayar diyat, atau membayar kafarat.
d.      Mazhab Syafi’i berendapat, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam.[24]



3.      Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang nonmuslim, apapun agamanya.[25]
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW. :
عَنْ أُسَامَةَ ابْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : "لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَ لاَ يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ"
Dari Usamah bin Zaid r.a. bahwa Nabi SAW. bersabda : “Orang muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang muslim[26]
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Namun hal ini sebagian ulama berbeda pendapat yang mengaku bersandar pada pendapat Mu’adz bin Jabal r.a yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewarisi kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya’lu walaa yu’la ‘alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.
Menurut madzhab Maliki, Syafi’i dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab menurut mereka orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad.[27]

J.      Ayat-Ayat Waris Utama Beserta Tafsirnya
Ayat-ayat waris utama menyebutkan secara rinci para ahli waris dan bagian mereka masing-masing yang dinyatakan dalam enam macam angka pecahan, yaitu 1/2, 1/3, 1/4, 1/6, 1/8 dan 2/3. Ayat-ayat waris utama hanya ada tiga ayat di dalam Al Quran, yang ketiganya berada dalam Surah An-Nisa, yaitu ayat 11, 12, dan 176. Berikut ini disajikan ayat, terjemahan serta tafsir masing-masing ayat tersebut.
1.      Q.S. An-Nisa Ayat 11
Artinya :
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tafsir Ayat :
a.       Dalam kitab tafsir Shafwatut Tafaasir menerangkan bahwa dalam ayat ini Allah menyuruh dan mengamanatkan kepada kamu supaya berbuat adil dalam pembagian warisan untuk anak-anakmu. Bagian seorang anak lelaki dari harta warisan sama dengan bagian dua anak perempuan. Jika anak-anak yang mendapat warisan hanya perempuan saja, dua atau lebih, maka bagian dua anak perempuan atau lebih itu adalah dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika ahli waris seorang anak perempuan saja, maka dia memperoleh setengah dari harta yang ditinggalkan.
Allah memulai dengan membahas bagian warisan anak-anak, kemudian Allah menyebut bagian warisan kedua orangtua, karena cabang         (anak-anak) didahulukan daripada asal (orang tua). Bapak memperoleh bagian seperenam dan ibu juga seperenam dari harta peninggalan si mayit jika didapati si mayit mempunyai anak lelaki atau perempuan, karena anak mencakup laki-laki dan perempuan.
Jika tidak didapati si mayit mempunyai anak, sedangkan ahli waris bapak ibunya saja, atau bersama bapak ibu terdapat seorang salah satu suami atau istri, maka ibu mendapat sepertiga harta atau sepertiga sisa dari bagian salah seorang suami atau istri, dan sisanya yang lain bagian bapak. Jika bersama kedua orangtua (bapak-ibu) terdapat saudara-saudara si mayit (dua atau lebih), maka ibu dalam posisi demikian memperoleh bagian seperenam, dan sisanya adalah bagian bapak. Hikmahnya adalah bahwasanya bapak dibebani memberi nafkah kepada mereka, bukan ibunya, karena itu kebutuhan bapak terhadap harta lebih besar.
Sesungguhnya hak-hak warisan yang akan dibagikan itu setelah dilaksanakannya wasiat mayit dan sesudah dibayar hutangnya, maka janganlah harta peninggalan dibagi-bagi dahulu sebelum kedua hal itu terpenuhi. Sesungguhnya Allah sendiri yang menetapkan ketentuan tentang bagian warisan. Dan hanya Allah semata yang mengetahui hikmah dalam pembagian harta warisan. Harta-harta itu dibagi karena terdapat maslahah dan terpenuhinya manfaat kepada mereka, dan merekalah yang membelanjakan harta-harta itu tidak pada maslahatnya. Sesungguhnya Allah mengetahui kemaslahatan buat makhluk-Nya, Maha Bijaksana terhadap apa yang disyariatkan dan ditentukan-Nya.[28]
b.      Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir menerangkan bahwa dalam ayat ini anak laki-laki mendapat dua kali lipat bagian dari anak perempuan.             Allah SWT meminta agar berlaku adil terhadap anak. Karena kaum Jahiliyah hanya memberikan warisan seluruhnya kepada anak laki-laki, sedangkan anak-anak perempuan tidak mendapatkan bagian sedikit pun. Oleh sebab itu Allah SWT meminta untuk membagikan warisan kepada semua anak meskipun dengan pembagian berbeda. Perbedaan ini tidak lain karena anak laki-laki memerlukan biaya lebih untuk menafkahi keluarga dan berusaha untuk menghidupi keluarganya kelak. Hal inilah yang membuatnya pantas mendapat dua kali lebih banyak dari bagian anak perempuan.
Hak anak perempuan tunggal, dijelaskan bahwa dalam surah An-Nisa disebutkan  jatah dua pertiga bagi anak perempuan diambil dari jatah dua pertiga yang diperoleh oleh dua saudara perempuan. Di dalam ayat tersebut, Allah SWT menetapkan bahwa bagian untuk dua saudara perempuan adalah dua pertiga.
Dalam hadits Jabir, Rasulullah SAW memberikan dua pertiga kepada kedua putri Sa’ad bin Rabi’. Dengan demikian, pendapat ini di dukung oleh Al Quran maupun oleh As-Sunnah. Tambahan lagi ada ayat وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ. Sekiranya dua anak perempuan juga mendapatkan bagian setengah tentu akan disebutkan di sini. Ketika satu anak mendapatkan setengah karena tunggal, Allah SWT menjelaskan bahwa dua anak perempuan sama jatahnya dengan tiga anak perempuan.
Bagian orang tua. Orang tua dalam ilmu waris dibagi menurut beberapa kondisi berikut. Ketika anak masih ada, jatah masing-masing ayah dan ibu adalah seperenam. Ketika hanya ada orang tua, ibu mendapat sepertiga dan sisanya untuk ayah sebagai hak ashabah. Orang tua dan saudara       sama-sama ada baik saudara kandung, sebapak, maupun seibu. Meski tidak memengaruhi bagian ayah, mereka dapat mengurangi bagian ibu dari sepertiga menjadi seperenam. Dalam hal ini jika tidak ada ahli waris lain maka setelah seperenam, semua sisa warisan diambil ayah.
Dahulukan hutang dan wasiat. Para ulama, baik yang salaf maupun yang khalaf, sama-sama sepakat bahwa pembayaran hutang didahulukan pada wasiat. Saudara seibu saling mewarisi satu sama lain, di luar mereka yang berasal dari satu keluarga. Seseorang dapat menjadi waris dari saudara kandungnya, tetapi tidak saudaranya sebapak.[29]

2.      Q.S. An-Nisa Ayat 12

Artinya :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Tafsir Ayat :
a.       Dalam kitab tafsir Shafwatut Tafaasir menerangkan bahwa dalam ayat ini Allah menyebut peroleh warisan suami dan istri. Para suami memiliki bagian seperdua (setengah) dari harta yang ditinggalkan istri-istrinya, jika mereka tidak mempunyai anak darinya atau selain darinya. Istri-istri mendapatkan satu dan bahkan lebih memperoleh bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkan suaminya jika ia tidak mempunyai anak. Jika suami mempunyai anak dari mereka (istri) atau selain mereka (istrinya yang lain), maka istrinya memperoleh bagian seperdelapan dari harta yang ia tinggalkan.
Jika seseorang mati (mayit) baik laki-laki atau perempuan mewariskan kalalah (tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai bapak), maka yang akan mewarisinya adalah sanak keluarga jauh, karena tidak adanya asal  (orang tua) dan furu’ (anak-anak), yaitu yang mewarisinya adalah saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu.
Saudara laki-laki seibu memperoleh bagian seperenam dan saudari perempuan seibu juga memperoleh seperenam jika saudara laki-laki dan saudari perempuan seibu itu lebih dari seorang, maka mereka mendapatkan bagian sepertiga untuk semuanya, baik laki-laki maupun perempuan bagian warisannya sama. Allah berpesan kepada kamu tentang hal itu sebagai wasiat. Allah Maha Mengetahui tentang apa yang disyariatkan-Nya, Dan Allah Maha Penyantun, tidak tergesa-gesa dalam memberi siksa kepada orang yang menentang perintah-Nya.[30]
b.      Tidak jauh berbeda dengan tafsir sebelumnya, dalam kitab tafsir Ibnu Katsir menerangkan bahwa dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang hak waris suami istri, bahwa untuk kaum laki-laki separuh dari warisan yang ditinggalkan oleh istri kalian jika mereka meninggal tanpa seorang       anak pun. Namun, jika mereka memiliki anak, kalian hanya berhak mendapatkan seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya.
Adapun mengenai kalalah, Abu Bakar Siddiq berpendapat bahwa kalalah adalah seseorang yang tidak lagi mempunyai anak maupun bapak.
Hukum saudara seibu. Pertama, mereka berhak mewarisi bersama-sama dengan orang yang menghubungkan mereka dengan almarhum, yaitu ibu. Kedua, baik laki-laki maupun perempuan haknya dalam warisan sama. Ketiga, mereka hanya menjadi ahli waris ketika seseorang meninggal sebagai kalalah, dengan begitu mereka tidak dapat apa-apa dari warisan ketika ada ayah atau kakek, anak atau cucu. Keempat, hak mereka tidak lebih dari sepertiga, berapa pun jumlahnya, tidak ada perbedaan apakah mereka laki-laki atau perempuan.[31]

3.      Q.S. An-Nisa Ayat 176
Artinya :
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka  (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Tafsir Ayat :
a.       Dalam kitab tafsir Shafwatut Tafaasir menerangkan bahwa dalam ayat ini jika seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai orang tua dan anak (kalalah), dan dia mempunyai saudara perempuan sekandung (tunggal bapak-ibu), atau saudara perempuan sebapak, maka bagi saudara perempuannya itu seperdua dari harta yang ditinggalkan saudaranya. Dan saudara laki-lakinya yang sekandung dan sebapak mempusakai seluruh harta saudara perempuan, jika ia tidak mempunyai anak. Jika saudara perempuan itu ada dua atau lebih, maka keduanya memperoleh dua pertiga dari harta yang ditinggalkan saudara laki-laki keduanya. Jika ahli waris terdiri dari campuran saudara laki-laki dan saudara perempuan, maka bagian saudara laki-laki dua kali bagian saudara perempuan. Allah menerangkan hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya kepadamu karena khawatir kamu tersesat. Allah mengetahui sesuatu yang ada maslahat dan manfaatnya bagi kamu, Dia mengetahui maslahat-maslahat hamba-Nya, baik ketika mati dan hidup.[32]
b.      Dalam kitab tafsir Ibnu Katsir bahwa dalam ayat ini diterangkan mengenai Hukum Kalalah, mayoritas ulama menafsirkan kalalah dengan orang yang meninggal tanpa memiliki anak ataupun ayah yang akan mewarisi. Hukum kalalah telah menjadi persoalan tersendiri bagi Amirul Mukminin Umar bin Khaththab. Seperti termaktub dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, “Tiga hal yang saya harapkan diterangkan lagi oleh Rasullullah SAW sebagai pegangan, yaitu bagian kakek, masalah kalalah, dan salah satu bab mengenai riba.”[33]


K.    Ayat-Ayat Waris Tambahan
Beberapa ayat yang dapat dianggap sebagai ayat-ayat waris tambahan terdapat di beberapa surah, antara lain surah An-Nisa, Al-Anfal, dan Al-Ahzab. Berikut ini ayat serta terjemahan dan intisari untuk masing-masing ayat tersebut.

1.      Q.S. An-Nisa Ayat 7
Artinya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Simpulan atau intisari dari Q.S. An-Nisa Ayat 7 ini :
Laki-laki dan wanita (baik masih kecil maupun sudah dewasa, baik kuat berjuang maupun tidak) sama-sama mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan meskipun dengan jumlah bagian yang tidak sama. Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan warisan pada masa Jahiliyah yang memberikan harta warisan kepada laki-laki saja, ditambah lagi dengan syarat harus sudah dewasa dan kuat berjuang (berperang).
2.      Q.S. An-Nisa Ayat 8
Artinya :
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Simpulan atau intisari dari Q.S. An-Nisa Ayat 8 ini :
Ayat ini memberikan anjuran kepada keluarga yang melaksanakan pembagian harta warisan agar memperhatikan kerabat (yang tidak memperoleh harta warisan), anak yatim, dan orang miskin serta memberikan sebagian (sekedarnya) dari harta warisan kepada mereka sehingga mereka tidak berkecil hati atas pembagian harta itu.
3.      Q.S. An-Nisa Ayat 9
Artinya :
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Simpulan atau intisari dari Q.S. An-Nisa Ayat 9 ini :
Ayat ini memberikan tuntunan kepada orang-orang yang memiliki harta agar sebelum wafat memperhatikan kesejahteraan anak keturunan mereka, misalnya dengan mengutamakan pemberian harta warisan kepada anak daripada pemberian wasiat kepada orang lain, sehingga kebutuhan dan kesejahteraan anak nantinya dapat dipenuhi dengan layak.
4.      Q.S. An-Nisa Ayat 10
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Simpulan atau intisari dari Q.S. An-Nisa Ayat 10 ini :
Ayat ini memberikan tuntunan kepada kerabat dari yang meninggal agar anak-anak yang ditinggalkan oleh orang tua mereka, terutama yang masih belum baligh (masih kanak-kanak) hendaklah bagian mereka disimpan dan dijaga sebaik-baiknya supaya mereka (anak-anak yatim itu) nantinya dapat menggunakan harta warisan yang menjadi hak mereka dari orang tua mereka, bukan malah sebaliknya memakan harta anak yatim itu secara zhalim.
5.      Q.S. An-Nisa Ayat 13
Artinya :
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar.”
Simpulan atau intisari dari Q.S. An-Nisa Ayat 13 ini :
Ayat ini memberikan janji balasan Allah atas orang-orang yang melaksanakan hukum waris (membagi harta warisan) sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa surga di akhirat kelak.
6.      Q.S. An-Nisa Ayat 14
Artinya :
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan.”
Simpulan atau intisari dari Q.S. An-Nisa Ayat 14 ini :
Ayat ini memberikan ancaman Allah atas orang-orang yang membagi harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa neraka di akhirat kelak.
7.      Q.S. An-Nisa Ayat 19
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Simpulan atau intisari dari Q.S. An-Nisa Ayat 19 ini :
Ayat ini menghapus adat Jahiliyah yang menjadikan wanita sebagai harta warisan, karena pada masa Jahiliyah apabila seorang laki-laki meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh keluarga pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi. Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa dibolehkan. Dengan demikian, maka tidak diperbolehkan lagi wanita dijadikan sebagai harta warisan dari suaminya yang meninggal lebih dahulu.
8.      Q.S. An-Nisa Ayat 33
Artinya :
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya, dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”
Simpulan atau intisari dari Q.S. An-Nisa Ayat 33 ini :
Ayat ini pada awalnya merupakan dasar hukum yang membolehkan adanya hak waris-mewarisi antara dua orang yang melakukan sumpah-setia (muhalafah) pada masa Jahiliyah, tetapi kemudian menurut sebagian ahli tafsir ayat ini di nasakh (dihapus) dengan turunnya Surah Al-Anfal ayat 75 sehingga muhalafah tidak bisa lagi dijadikan salah satu sebab mewarisi.
9.      Q.S. An-Nisa Ayat 127
Artinya :
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah, dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil, dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.”
Simpulan atau intisari dari Q.S. An-Nisa Ayat 127 ini :
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa wanita juga mendapat bagian harta warisan secara pasti, sedikit atau banyak. Dengan demikian, wanita juga bisa menjadi ahli waris, sama seperti laki-laki. Menurut adat Arab Jahiliyah, seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa akan hartanya. Jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. Jika wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya dia tetap dapat menguasai hartanya. Kebiasaan tersebut dilarang melakukannya oleh ayat ini.
10.  Q.S. Al-Anfal Ayat 72
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi, dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Simpulan atau intisari dari Q.S. Al-Anfal Ayat 72 ini :
Yang dimaksud lindung-melindungi ialah di antara Muhajirin dan Anshar terjalin persaudaraan yang amat teguh disebut Muakhkhah, untuk membentuk masyarakat yang baik. Demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada permulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung. Ayat ini pada mulanya menjadi dasar hukum yang menjadikan muakhkhah (persaudaraan antara Muhajirin dan Anshar) sebagai sebab waris-mewarisi.
11.  Q.S. An-Anfal Ayat 75
Artinya :
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Simpulan atau intisari dari Q.S. Al-Anfal Ayat 75 ini :
Ayat ini menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi dasar (sebab)     waris-mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara Muhajirin dan Anshar pada permulaan Islam. Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 72 sehingga muakhkhah (persaudaraan antara muhajirin dan anshar) tidak dijadikan lagi sebagai sebab waris-mewarisi.
12.  Q.S. Al-Ahzab Ayat 4-5
Artinya :
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu, dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Simpulan atau intisari dari Q.S. Al-Ahzab Ayat 4-5 ini :
Ayat ini menegaskan bahwa status hukum anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya status hukum isteri tidak sama dengan ibu. Dengan demikian, dalam hal kewarisan maka anak angkat tidak mendapat hak waris atas harta peninggalan orang tua angkatnya. Jadi ayat ini melarang untuk menyamakan anak angkat dengan anak kandung.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa Jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.
13.  Q.S. Al-Ahzab Ayat 40
Artinya :
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Simpulan atau intisari dari Q.S. Al-Ahzab Ayat 40 ini :
Dalam ayat ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah ayah dari salah seorang sahabat. Dengan demikian, bekas istri Zaid dapat dinikahi oleh Rasulullah SAW karena Zaid adalah anak angkat   Rasulullah SAW. Seandainya Zaid sebagai anak angkat Rasulullah SAW disamakan statusnya dengan anak kandung, maka Rasulullah SAW tidak boleh menikahi mantan istri Zaid. Demikian pula halnya kalau anak angkat dijadikan sebagai anak kandung, maka akan membawa pengaruh terhadap pembagian warisan. Seperti juga Q.S. Al-Ahzab ayat 4-5, ayat ini menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa Jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.[34]

L.     Pembagian Warisan Dengan Ilmu Faraid
Ilmu faraid adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang membahas tentang aturan pembagian warisan seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik harta maupun hak-haknya yang legal sesuai syariat Islam.
Ahmad Bisyri Syakur dalam bukunya “Panduan Lengkap Mudah Memahami Hukum Waris Islam: Dilengkapi Hibah Dan Wasiat” mengutip perkataan Wahbah Az-Zuhayli (ahli ilmu faraid) yang memaparkan bahwa, ilmu faraid adalah aturan-aturan hukum fikih dan penghitungannya yang memberi informasi tentang jatah setiap ahli waris dari harta warisan.[35]
Beliau juga mengutip perkataan Syeikh Sayyid Sabia dalam Kitab Fiqh Sunnah (halaman 434) yang menjelaskan bahwa ilmu faraid adalah ilmu pengetahuan tentang jatah warisan yang telah ditentukan oleh Allah SWT.[36]
Sementara itu, hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. (BAB I Ketentuan Umum Pasal 171 (a)).
Dalam ilmu faraid, dijelaskan apa yang dimaksud dengan harta waris, siapakah yang berhak menerimanya, apa penyebab mendapatkan warisan, dan apa penyebab tidak mendapatkan warisan, sehingga harta yang diperoleh dipastikan menjadi harta yang halal untuk dimanfaatkan dalam kehidupan.
Ilmu faraid sangatlah penting bagi setiap orang, baik muslim maupun nonmuslim. Hal ini disebabkan alasan sebagai berikut :
1.      Adanya penghalalan kepemilikan karena dengan pembagian harta warisan yang menggunakan ilmu faraid dapat dipastikan bagi seseorang akan kehalalan harta yang didapatnya. Pembagian warisan tanpa ilmu faraid adalah pendapatan tidak halal.
2.      Lebih adil karena pembagian harta warisan langsung berdasarkan firman Allah SWT.
3.      Menghindari fitnah dan perebutan harta warisan. Dengan menguasai dan menggunakan ilmu faraid, pembagian harta warisan tidak akan menimbulkan fitnah dan pertengkaran keluarga. Pertengkaran antarkeluarga dalam masalah pembagian warisan hanyalah karena pembagian yang subjektif dan cenderung mengikuti hawa nafsu masing- masing anggota keluarga saja.
Dengan pembagian warisan yang menggunakan ilmu faraid, setiap ahli waris akan mendapatkan hak mereka sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Namun perlu diingat, penggunaan ilmu faraid dalam pembagian warisan harus dilakukan oleh sumber daya manusia yang memahami secara mendalam akan ilmu tersebut.[37]

M.   Hikmah Adanya Hukum Waris
Beberapa hikmah yang dapat diambil dari pengaturan waris menurut Islam antara lain sebagai berikut :
1.      Dengan adanya ketentuan waris itu di samping akan membawa keteraturan dan ketertiban dalam hal harta benda, juga untuk memelihara harta benda dari satu generasi ke generasi lain.
2.      Dapat menegakkan nilai-nilai perikemanusiaan, kebersamaan dan demokratis di antara manusia, khususnya dalam soal yang menyangkut harta benda.
3.      Dengan mempelajari ilmu waris berarti seorang muslim telah ikut memelihara dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dari Allah SWT yang terdapat dalam Al Quran.
4.      Dengan mengetahui ilmu waris, maka setiap anggota keluarga akan memahami hak-hak dirinya dan hak-hak orang lain, sehingga tidak akan terjadi perebutan terhadap harta warisan tersebut.
5.      Menghindari perpecahan antarkeluarga yang disebabkan oleh pembagian harta warisan yang tidak adil. Mengalirkan harta peninggalan kepada yang lebih bermanfaat agar lebih terjaminnya kesejahteraan keluarga secara merata.
6.      Memelihara harta peninggalan dengan baik sehingga harta itu menjadi amal jariah bagi si mayit.
7.      Memperhatikan anak yatim karena dengan harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya kehidupan anak-anak yang ditinggalkan itu akan lebih terjamin.
8.      Dengan pembagian yang merata sesuai dengan syariat, maka masing-masing anggota keluarga akan merasakan suatu kepuasan sehingga dapat hidup dengan tentram.[38]



[1]Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1997). Cet. 14. Hal. 1550-1551.
[2]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995). Cet. 1. Hal. 33.
[3]Ahli waris yang mempunyai hubungan darah tetapi tidak berhak menerima warisan, baik bagian tertentu atau ‘ashabah (sisa) seperti cucu garis perempuan. Ahli waris ini dapat menerima bagian melalui wasiat wajibah.
[4]Dr. Ahmad Rofiq, MA. Fiqh Mawaris, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2001).    Cet. 4. Hal. 4-5.
[5]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam...... Hal. 39.
[6]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam...... Hal. 39.
[7]Ahli waris yang berhak menerima bagian tertentu.
[8]Ahli waris yang menerima bagian sisa.
[9]Ahli waris yang terkurangi atau terhalang hak warisnya oleh ahli waris yang lain.
[10]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam...... Hal. 40-41.
[11]Dr. Ahmad Rofiq, MA. Fiqh Mawaris…… Hal. 46.
[12]Orang yang meninggal dunia yang akan diwarisi harta peninggalannya.
[13]Kas negara.
[14]Dr. Ahmad Rofiq, MA. Fiqh Mawaris…… Hal. 47-48.
[15]Dr. Ahmad Rofiq, MA. Fiqh Mawaris…… Hal. 48-52.
[16]Kewajiban individual.
[17]Dr. Ahmad Rofiq, MA. Fiqh Mawaris…… Hal. 52-58.
[18]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam...... Hal. 38-39.
[19]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam...... Hal. 36-38.
[20]Haji Muhammad Syukri Bin Unus, Is’aaful Khaaidh Fii ‘Ilmi Al-Faraaidh, (Martapura). Hal. 8-9.
[21]Haji Muhammad Syukri Bin Unus, Is’aaful Khaaidh Fii ‘Ilmi Al-Faraaidh...... Hal. 8.
[22]Haji Muhammad Syukri Bin Unus, Is’aaful Khaaidh Fii ‘Ilmi Al-Faraaidh...... Hal. 9.
[23]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam...... Hal. 41.
[24]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam...... Hal. 41-42.
[25]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam...... Hal. 42.
[26]M. Nashiruddin Al-Albani ; Penerjemah ; Elly Lathifah, Ringkasan Shahih Muslim, (Jakarta : Gema Insani Press, 2005). Bab : Orang Muslim Tidak Boleh Mewarisi Harta Orang Kafir, Dan Orang Kafir Tidak Boleh Mewarisi Harta Orang Muslim. Hadits No. 994. Cet. 1. Hal. 470.
[27]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam...... Hal. 42-43.
[28]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; KH. Yasin, Shafwatut Tafaasir ; Tafsir-Tafsir Pilihan, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2011). Jilid. 1. Cet. 1. Hal. 604-606.
[29]Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury ; Penerjemah ; Imam Ghazali,  Al-Misbah Al-Munir Fii Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung : Sygma Creative Media Corp, 2012). Jilid. 2. Cet. 1. Hal. 136-143.
[30]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; KH. Yasin, Shafwatut Tafaasir ; Tafsir-Tafsir Pilihan…… Hal. 606-607.
[31]Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury ; Penerjemah ; Imam Ghazali,  Al-Misbah Al-Munir Fii Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir...... Hal. 316-318.
[32]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; KH. Yasin, Shafwatut Tafaasir ; Tafsir-Tafsir Pilihan…… Hal. 768.
[33]Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury ; Penerjemah ; Imam Ghazali,  Al-Misbah Al-Munir Fii Tahdzib Tafsir Ibnu Katsir...... Hal. 458-464.
[34]Blog Achmad Yani, S.T., M.Kom., Al-Faraaidh Wa Al-Mawaarits-Berbagi Ilmu Faraidh-Hukum Waris Islam, http://achmadyanimkom.blogspot.co.id/2010/11/ayat-ayat-mawaris.html, diunduh pada tanggal 10 Maret 2017. Pukul. 08.03. WITA.
[35]Ahmad Bisyri Syakur, Lc., M.A., Panduan Lengkap Mudah Memahami Hukum Waris Islam : Dilengkapi Hibah Dan Wasiat, (Jakarta : Visimedia Pustaka, 2015). Cet. 1. Hal. 3.
[36]Ahmad Bisyri Syakur, Lc., M.A., Panduan Lengkap Mudah Memahami Hukum Waris Islam : Dilengkapi Hibah Dan Wasiat…… Hal. 3.
[37]Ahmad Bisyri Syakur, Lc., M.A., Panduan Lengkap Mudah Memahami Hukum Waris Islam : Dilengkapi Hibah Dan Wasiat...... Hal. 3-4.
[38]Ali Parman, Kewarisan Dalam Al Quran : Suatu Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995). Cet. 1. Hal. 147-148.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Postingan Populer

Wikipedia

Hasil penelusuran

Total Tayangan Halaman