A.
Definisi
Waris
Di
dalam Kamus Al-Munawwir, kata Al-Waarits ( الوَارِثُ ) berasal dari kata waritsa ( وَرِثَ ) - yaritsu ( يَرِثُ ) - wartsan ( وَرْثًا ) - waaritsan ( وَارِثًا ) - turaatsan ( تُرَاثًا ) yang artinya mewaris
harta, waris, ahli waris atau turun-temurun.[1] Maknanya menurut bahasa ialah berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain, atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Adapun
pengertian waris menurut istilah (terminologi) ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup,
baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang
berupa hak milik legal secara syar’i.[2]
B.
Beberapa
Istilah Dalam Waris
Adapun
istilah-istilah yang digunakan dalam waris, di antaranya :
1. Waarits, yaitu
orang yang termasuk ahli
waris yang berhak menerima warisan. Ada ahli waris yang sesungguhnya memiliki
hubungan kekerabatan yang dekat, akan tetapi tidak berhak mendapatkan warisan
itu. Ahli waris semacam ini disebut dengan Dzawi Al-Arham[3]. Hak-hak waris dapat timbul karena hubungan
darah, karena hubungan sebab perkawinan dan karena akibat hukum memerdekakan
budak.
2. Muwarrits, yaitu orang yang diwarisi harta benda
peninggalannya, yaitu orang-orang yang meninggal dunia, baik itu meninggal
secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau karena melalui keputusan
hakim. Seperti orang yang hilang dan tidak diketahui kabar berita dan domisilinya.
Setelah melalui pencarian dan persaksian atau tenggang waktu tertentu hakim
memutuskan bahwa ia dinyatakan meninggal dunia melalui keputusan hakim.
3. Tirkah, yaitu semua harta peninggalan orang yang meninggal
dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pelunasan hutang,
dan pelaksanaan wasiat yang dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih
hidup.
4. Al-Irts, harta warisan yang siap dibagi oleh ahli waris
sesudah diambil untuk keperluan pemeliharaan jenazah, pelunasan hutang serta
pelaksanaan wasiat.
5. Waratsah, yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli
waris. Ini berbeda dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak
bisa dibagi-bagi, karena menjadi milik kolektif semua ahli waris.[4]
C.
Rukun
Waris
Rukun waris ada
tiga, yaitu :
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak
untuk mewarisi harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima
harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab), ikatan pernikahan,
atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.[5]
D. Syarat Waris
Syarat-syarat waris ada tiga, yaitu :
1.
Meninggalnya seseorang (pewaris) baik
secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
2.
Adanya ahli waris yang hidup secara
hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
Di bawah ini akan
diuraikan tentang penjelasan dari ketiga syarat waris di atas, yaitu :
1. Meninggalnya pewaris, baik secara hakiki ataupun secara hukum ialah
bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau
sebagian dari mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang
tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang
keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya
sebagai orang yang telah meninggal. Hal ini harus diketahui secara pasti,
karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup tetap dianggap mampu
untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat
diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelan ia meninggal.
2. Masih hidupnya para ahli waris, maksudnya pemindahan hak kepemilikan
dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih
hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi. Sebagai contoh,
jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal
dalam satu peristiwa atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui
mana yang lebih dahulu meninggal, maka di antara mereka tidak dapat saling
mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini oleh
kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu
kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan,
mereka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
3. Diketahuinya posisi para ahli waris. Dalam hal ini posisi para ahli
waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan
sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus
diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya
kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup
hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus
dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara
seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima
warisan karena sebagai ashhab al-furudh,[7] ada yang karena ‘ashabah,[8] ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub)[9], serta ada yang tidak terhalang.[10]
E. Hak-Hak Yang Wajib Ditunaikan Sebelum Warisan
Dibagi Kepada Ahli Waris
Hak-hak yang wajib ditunaikan
sebelum harta warisan dibagi kepada ahli waris ada tiga, yaitu :
1.
Biaya perawatan jenazah (tajhiiz al-janaazah)
2.
Pelunasan hutang (wafaa’ ad-duyun)
Untuk lebih
jelasnya ketiga kewajiban tersebut akan diuraikan
lebih detail sebagai berikut :
1.
Biaya Perawatan
Jenazah
Perawatan
jenazah yang dimaksudkan ialah meliputi seluruh biaya yang dikeluarkan sejak
orang tersebut meninggal dunia, dari biaya memandikan, mengafani, mengantar
(mengusung) jenazah dan menguburkannya. Besarnya biaya tidak boleh terlalu
besar dan juga tidak boleh terlalu kurang, tetapi dilaksanakan secara wajar.
Menurut Imam
Ahmad, biaya perawatan harus didahulukan daripada membayar hutang. Sementara
Imam Abu Hanifah, Malik dan Imam Syafi’i mengatakan, bahwa pelunasan hutang
harus didahulukan. Alasannya, jika utang tidak dilunasi terlebih dahulu,
jenazah itu ibarat tergadai.
Termasuk dalam
pengertian biaya perawatan adalah semua biaya yang dikeluarkan semasa muwarrits[12] sakit menjelang
kematiannya. Tentu saja apabila harta yang ditinggalkannya mencukupi, atau
bahkan tidak ada sama sekali, dan dari mana biaya tersebut harus diambil.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Apabila harta yang
ditinggalkan si mayit tidak mencukupi, maka harta yang ada itu dimanfaatkan,
kekurangannya menjadi tanggungan keluarga. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan
Hanabilah membatasi pada keluarga yang menjadi tanggungannya ketika si muwarrits
masih hidup. Alasannya, karena semasa hidup muwarrits, merekalah
yang memperoleh kenikmatan dibiayai hidupnya oleh si muwarrits, mereka
pula yang menerima harta warisan jika ada kelebihan. Karena itulah, wajar jika
mereka juga harus bertanggungjawab untuk memikul biaya perawatan.
Apabila muwarrits tidak mempunyai
keluarga, maka biaya diambilkan dari baitul-mal[13]. Jika baitul-mal tidak berfungsi, maka penyelesaiannya
dimintakan kepada orang-orang Islam yang kaya (mampu) dan mau membantu sebagai
pemenuhan kewajiban kifayah (kolektif). Sebab kalau tidak ada seorang
pun yang bersedia membiayainya, maka semua orang Islam di lingkungan tersebut akan menanggung dosa.
Pendapat yang
berbeda dikemukakan Ulama Malikiyah, bahwa biaya perawatan tersebut diambil
dari baitul-mal, tanpa harus membebani keluarga atau kaum muslimin. Pendapat ini mempunyai celah kelemahan. Karena boleh jadi,
keluarga akan lebih leluasa untuk tidak bertanggungjawab terhadap perawatan
keluarganya yang meninggal dunia.[14]
2.
Pelunasan Hutang
Hutang
merupakan tanggungan yang harus dilunasi dalam waktu tertentu (yang disepakati)
sebagai akibat dari imbalan yang telah diterima orang yang berhutang. Apabila
seseorang yang meninggal dunia ternyata meninggalkan hutang pada orang lain
yang belum dibayar, maka sudah seharusnya hutang tersebut dilunasi terlebih
dahulu dan diambil dari harta peninggalannya, sebelum harta itu dibagikan
kepada ahli waris.
Para ulama mengklasifikasikan hutang pada dua macam, yaitu :
a.
Hutang kepada
sesama manusia (dain al-‘ibad).
b.
Hutang kepada
Allah (dain Allah).
Hutang kepada
sesama manusia, ditinjau dari segi teknis pelaksanaannya dibagi dua, yaitu
hutang yang berhubungan dengan wujud harta (utang gadai) disebut dengan dain
‘ainiyah, dan yang kedua hutang yang bersangkutan dengan wujud harta
disebut dengan dain muthlaqah. Dain muthalaqah jika dilakukan pada waktu
sehat dan dapat dibuktikan disebut dain shihah, dan apabila dilakukannya
pada waktu sakit serta tidak ada bukti-bukti kuat disebut dengan dain
maradh.
Pertanyaannya adalah, hutang mana yang harus didahulukan? Apakah
hutang kepada sesama manusia (dain al-i’bad) atau hutang kepada Allah (dain Allah).
Para ulama berbeda
pendapat dalam menjawab pertanyaan ini.
a.
Ulama Hanifah
berpendapat bahwa hutang kepada Allah telah gugur bersamaan dengan kematian
seseorang. Peristiwa kematian, dengan sendirinya menghilangkan kemampuan
seseorang dan menghapus beban hukum yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.
Ahli waris tidak lagi berkewajiban melunasi hutangnya. Ibadah haji misalnya,
meskipun pada waktu hidupnya orang yang meninggal sudah mampu, tetapi belum
dilaksanakan, dan terdapat sisa harta yang mencukupi untuk biaya haji itu, ahli
warisnya tidak wajib membayar biaya haji tersebut.
b.
Mazhab
Malikiyah berpendapat bahwa hutang kepada sesama manusia (dain al-‘ibad)
didahulukan pelunasannya daripada hutang kepada Allah (dain Allah). Argumentasi mereka, manusia sangat membutuhkan agar
hutang-hutangnya dilunasi, karena orang yang berpiutang tentu sangat membutuhkannya,
kecuali hutang itu dibebaskannya. Sementara Allah Maha Kaya, karena itu tidak
memerlukan hutang-hutang manusia kepada-Nya dilunasi. Di dalam pelaksanaan
pelunasan hutang, dain ‘ainiyah didahulukan dari pada dain muthlaqah.
Pendapat Fuqaha Hanafiyah dalam dain al-‘ibad.
c.
Ibn Hazm Al-Andalusy dan Ulama Syafi’iyah berpendapat, bahwa dain Allah
didahulukan daripada dain al-‘ibad. Dain ‘ainiyah didahulukan
daripada dain muthlaqah.
d.
Mazhab
Hanabilah memandang dain Allah dan dain al-‘ibad sama-sama harus dilunasi,
apabila harta peninggalannya mencukupinya. Jika terjadi kekurangan, maka harus
dibayarkan secara seimbang menurut porsi harta yang ada. Pada dain al-‘ibad,
dain ‘ainiyah didahulukan daripada dain muthlaqah.[15]
3.
Pelaksanaan Wasiat
Wasiat adalah tindakan
seseorang menyerahkan hak kebendaannya kepada orang lain, yang berlakunya
apabila yang berwasiat itu meninggal dunia. Wasiat merupakan tindakan yang bersifat sukarela tanpa
dipengaruhi oleh siapa pun. Apabila seseorang meninggal dunia dan semasa hidupnya
berwasiat atas sebagian harta kekayaannya kepada suatu badan atau seseorang,
maka wasiat itu wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalannya dibagi kepada
ahli warisnya.
Sebagian ulama, seperti Ibn Hazm berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu
‘ain[16]. Imam Abu Dawud dan para Ulama Salaf juga
berpendapat bahwa wasiat hukumnya wajib. Argumentasi yang mereka kemukakan
adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 180 sebagai berikut :
Artinya :
“Diwajibkan
atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. Al-Baqarah : 180)
Berdasarkan
petunjuk ayat tersebut di atas, wasiat yang dilaksanakan adalah kepada kedua
orang tua dan kerabat-kerabat yang karena suatu hal tidak dapat menerima
warisan. Ayat di atas, kata mereka, meskipun lahiriahnya bersifat umum, yang
dimaksudkan adalah khusus, yaitu mereka yang tidak mendapat bagian warisan,
diberikan bagian untuk menerima wasiat.
Imam Malik
berpendapat, jika si mati tidak berwasiat, tidak perlu dikeluarkan harta untuk
melaksanakan wasiat. Apabila berwasiat, maka diambil 1/3 dari harta yang
ditinggalkan. Berbeda dengan Imam Malik dan Imam Syafi’i, menurutnya, apabila
si mati tidak berwasiat, tetap diambil sebagian hartanya untuk wasiat, sebagai
perlaksanaan wasiat wajibah.
Apabila orang
yang meninggal berwasiat, maka harus dilaksanakan wasiatnya. Tetapi apabila
yang meninggal itu tidak berwasiat, maka tidak perlu dilaksanakan wasiat
wajibah. Mayoritas ulama berpendapat bahwa ketentuan hukum wasiat kepada kedua
orang tua dan kerabat lainnya diwajibkan adalah berlaku pada masa awal Islam. Ketentuan
wasiat ini, yang diatur dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 180 tersebut kemudian di nasakh dengan Q.S. An-Nisa ayat
11-12 yang mengatur secara detail para ahli waris yang mendapat bagian
tertentu. Oleh karena itu, bagi orang tua dan kerabat, baik yang menerima
bagian warisan atau tidak, telah tertutup haknya untuk menerima wasiat.
Dari ilustrasi
di atas dapat disimpulkan bahwa wasiat kepada orang tua dan kerabat tidak dapat
dibenarkan secara hukum. Untuk
mengetahui apakah seorang telah melakukan wasiat atau tidak, hendaknya
dibuktikan melalui keterangan saksi atau dengan bukti-bukti tertulis yang
autentik.
Apabila memang
terbukti bahwa seseorang telah melakukan wasiat sebelum harta peninggalanya
dibagi, wasiat yang dibuat harus dilaksanakan. Ketentuannya, maksimal 1/3 dari
harta peninggalan yang siap dibagi. Apabila si mati tidak berwasiat, jika
dipandang perlu dan ahli warisnya menyetujui, dalam usaha mewujudkan keadilan,
maka dapat dilaksanakan wasiat wajibah kepada ahli waris yang tidak mendapat
bagian.
Dari uraian di
atas dapat
ditegaskan bahwa harta warisan dibagi kepada ahli waris setelah terlaksananya perawatan jenazah, pelunasan hutang-hutang dan wasiat orang yang meninggal. Ini dimaksudkan agar orang yang meninggal dunia dalam menghadap Allah tidak terhalang oleh tanggungjawabnya yang belum terselesaikan.[17]
F.
Sebab-Sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang
menjadikan seseorang mendapatkan hak waris :
1.
Kerabat hakiki (yang ada ikatan
nasab), seperti kedua orang
tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
2.
Pernikahan, yaitu terjadinya akad
nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun
belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersenggama) antarkeduanya. Adapun
pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapat hak
waris.
3.
Al-Wala,
yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan
pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang
membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala
an-ni’mah. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan
kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT
menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila
budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan
(nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.[18]
G.
Derajat
Ahli Waris
Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata
mempunyai perbedaan derajat dan urutan. Berikut ini akan disebutkan
berdasarkan urutan dan derajatnya :
1.
Ashhabul Furudh, yaitu
orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al Quran, As-Sunnah, dan
ijma'. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan.
2.
‘Ashabah Nasabiyah. Setelah ashhabul furudh,
haruslah ‘ashabah nasabiyah menerima bagian. ‘Ashabah nasabiyah
yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan
yang telah dibagikan. Bahkan, jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia
berhak mengambil seluruh harta peninggalan. Misalnya anak laki-laki pewaris,
cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris, paman kandung, dan
seterusnya.
3.
Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian
(kecuali suami istri). Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua
ahli warisnya masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul
furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun
suami atau istri tidak berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang
ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri disebabkan adanya ikatan pernikahan,
sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan tambahan dibandingkan
lainnya.
4.
Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di
sini ialah kerabat pewaris yang masih memiliki kaitan rahim tidak termasuk ashhabul
furudh juga ‘ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi
(saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan
cucu perempuan dari anak perempuan. Maka bila pewaris tidak mempunyai kerabat
sebagai ashhabul furudh tidak pula ‘ashabah, para kerabat yang
masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.
5.
Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris
tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dan ‘ashabah,
juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan tersebut
seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal
tanpa memiliki kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan
bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya
merupakan tambahan hak warisnya. Dengan demikian, istri memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta peninggalan istri yang meninggal.
6.
‘Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para ‘ashabah karena sebab ialah
orang-orang yang memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun
perempuan). Misalnya, seorang bekas budak meninggal dan mempunyai harta warisan,
maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah satu ahli warisnya, dan
sebagai ‘ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.
7.
Orang yang diberi
wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di sini ialah orang
lain, artinya bukan salah seorang dari ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal
dan mempunyai sepuluh anak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat
kepada semua atau sebagian anaknya agar memberikan sejumlah hartanya kepada
seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya. Bahkan mazhab Hanafi
dan Hambali berpendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris bila memang
wasiatnya demikian.
8.
Baitul-mal (kas negara). Apabila
seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat maka
seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada baitulmal untuk kemaslahatan
umum.[19]
H.
Para
Ahli Waris
Ahli waris yang
berhak menerima harta warisan terbagi menjadi dua golongan, yaitu ahli waris
dari golongan laki-laki dan ahli waris dari golongan perempuan.
Di dalam kitab “Is’aaful
Khaaidh Fii ‘Ilmi Al-Faraaidh” karangan H. Muhammad Syukri Bin Unus
Al-Banjari, beliau menyatakan bahwa ahli waris dari golongan laki-laki ada 15
(lima belas) dan ahli waris dari golongan perempuan ada 10 (sepuluh).[20]
Ahli waris dari
golongan laki-laki ada 15 (lima belas), yaitu :
1.
Anak laki-laki
2.
Cucu laki-laki
(dari keturunan anak laki-laki)
3.
Ayah
4.
Kakek (dari
pihak bapak)
5.
Saudara kandung
laki-laki
6.
Saudara
laki-laki
seayah
7.
Saudara
laki-laki seibu
8.
Anak
laki-laki dari
saudara kandung laki-laki
9.
Anak
laki-laki dari
saudara laki-laki seibu
10.
Paman
(saudara kandung ayah)
11.
Paman
(saudara ayah seayah)
12.
Anak
laki-laki dari
paman (saudara
kandung ayah)
13.
Anak
laki-laki paman
seayah
14.
Suami
Adapun ahli waris dari golongan perempuan ada 10 (sepuluh), yaitu :
1.
Anak Perempuan
2.
Cucu Perempuan (dari keturunan anak laki-laki)
3.
Ibu
4.
Nenek (dari pihak ibu)
5.
Nenek (dari pihak ayah)
6.
Saudara kandung perempuan
7.
Saudara perempuan seayah
8.
Saudara perempuan seibu
9.
Istri
I. Penggugur Hak Waris
Penggugur hak waris seseorang
maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal
ini ada tiga, yaitu :
1.
Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk
mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar
(budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal) atau mukatab
(budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan
dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak).[23]
2.
Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak
membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Ada perbedaan
dikalangan Fuqaha tentang penentuan
jenis pembunuhan, yaitu :
a.
Mazhab Hanafi
menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua
jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.
b.
Mazhab Maliki
berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat
menggugurkan hak waris.
c.
Mazhab Hambali
berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah
setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqishas, membayar diyat,
atau membayar kafarat.
d.
Mazhab Syafi’i
berendapat, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur
hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman
rajam.[24]
3.
Perbedaan Agama
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW. :
عَنْ أُسَامَةَ ابْنِ زَيْدٍ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
"لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ وَ لاَ يَرِثُ الْكَافِرُ
الْمُسْلِمَ"
Dari Usamah bin Zaid r.a. bahwa Nabi SAW.
bersabda : “Orang muslim tidak boleh
mewarisi harta orang kafir, dan orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang
muslim”[26]
Jumhur ulama
berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Namun hal ini sebagian
ulama berbeda pendapat yang mengaku bersandar pada pendapat Mu’adz bin Jabal
r.a yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi
tidak boleh mewarisi kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya’lu
walaa yu’la ‘alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian ulama
ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni
murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam
kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang
Islam.
Menurut madzhab
Maliki, Syafi’i dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak
mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab menurut mereka orang yang
murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang
tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan oleh Rasulullah
SAW dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling
mewarisi. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi
harta kerabatnya yang murtad.[27]
J. Ayat-Ayat
Waris Utama Beserta Tafsirnya
Ayat-ayat waris utama menyebutkan secara rinci para ahli
waris dan bagian mereka masing-masing yang dinyatakan dalam enam macam angka
pecahan, yaitu 1/2, 1/3, 1/4,
1/6, 1/8 dan 2/3. Ayat-ayat waris utama hanya ada tiga ayat di dalam
Al Quran, yang ketiganya berada dalam Surah
An-Nisa, yaitu ayat 11, 12, dan 176. Berikut ini disajikan ayat, terjemahan serta tafsir
masing-masing ayat tersebut.
1.
Q.S. An-Nisa Ayat 11
Artinya :
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian
dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua,
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan
itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang
ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika
yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang
ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Tafsir Ayat :
a. Dalam kitab tafsir Shafwatut Tafaasir menerangkan
bahwa dalam ayat ini Allah
menyuruh dan mengamanatkan kepada kamu supaya berbuat adil dalam pembagian
warisan untuk anak-anakmu. Bagian seorang anak lelaki dari harta warisan sama
dengan bagian dua anak perempuan. Jika
anak-anak yang mendapat warisan hanya perempuan saja, dua atau lebih, maka bagian dua anak perempuan atau lebih itu adalah
dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika
ahli waris seorang anak perempuan saja, maka dia memperoleh setengah
dari harta yang ditinggalkan.
Allah memulai dengan membahas bagian warisan anak-anak,
kemudian Allah menyebut bagian warisan kedua orangtua, karena cabang (anak-anak)
didahulukan daripada asal (orang tua). Bapak memperoleh bagian seperenam dan ibu
juga seperenam dari harta peninggalan si mayit jika didapati si mayit mempunyai
anak lelaki atau perempuan, karena anak mencakup laki-laki dan perempuan.
Jika tidak didapati si mayit mempunyai anak, sedangkan
ahli waris bapak ibunya saja, atau bersama bapak ibu terdapat seorang salah
satu suami atau istri, maka ibu mendapat sepertiga harta atau sepertiga sisa
dari bagian salah seorang suami atau istri, dan sisanya yang lain bagian bapak.
Jika bersama kedua orangtua (bapak-ibu) terdapat saudara-saudara si mayit (dua
atau lebih), maka ibu dalam posisi demikian memperoleh bagian seperenam, dan
sisanya adalah bagian bapak. Hikmahnya adalah bahwasanya bapak dibebani memberi
nafkah kepada mereka, bukan ibunya, karena itu kebutuhan bapak terhadap harta
lebih besar.
Sesungguhnya hak-hak warisan yang akan dibagikan itu
setelah dilaksanakannya wasiat mayit dan sesudah dibayar hutangnya, maka
janganlah harta peninggalan dibagi-bagi dahulu sebelum kedua hal itu terpenuhi.
Sesungguhnya Allah sendiri yang menetapkan ketentuan tentang bagian warisan.
Dan hanya Allah semata yang mengetahui hikmah dalam
pembagian harta warisan. Harta-harta itu dibagi karena terdapat maslahah dan
terpenuhinya manfaat kepada mereka, dan merekalah yang membelanjakan
harta-harta itu tidak pada maslahatnya. Sesungguhnya Allah mengetahui
kemaslahatan buat makhluk-Nya, Maha Bijaksana terhadap apa yang disyariatkan
dan ditentukan-Nya.[28]
b. Dalam
kitab tafsir Ibnu Katsir menerangkan bahwa dalam ayat ini anak laki-laki
mendapat dua kali lipat bagian dari anak perempuan. Allah SWT meminta agar berlaku adil terhadap anak. Karena kaum Jahiliyah hanya memberikan warisan seluruhnya kepada anak laki-laki,
sedangkan anak-anak perempuan tidak mendapatkan bagian sedikit pun. Oleh sebab
itu Allah SWT meminta untuk membagikan warisan kepada semua anak meskipun dengan
pembagian berbeda. Perbedaan ini tidak lain karena anak laki-laki memerlukan
biaya lebih untuk menafkahi keluarga dan berusaha untuk menghidupi keluarganya
kelak. Hal inilah yang membuatnya pantas mendapat dua kali lebih banyak dari
bagian anak perempuan.
Hak anak perempuan tunggal, dijelaskan bahwa dalam surah An-Nisa disebutkan jatah dua pertiga bagi anak perempuan diambil
dari jatah dua pertiga yang diperoleh oleh dua saudara perempuan. Di dalam ayat
tersebut, Allah SWT menetapkan bahwa bagian untuk dua
saudara perempuan adalah dua pertiga.
Dalam hadits
Jabir, Rasulullah SAW memberikan dua pertiga kepada kedua putri Sa’ad bin Rabi’. Dengan demikian, pendapat ini
di dukung oleh Al Quran maupun oleh As-Sunnah. Tambahan lagi ada ayat وَاِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ. Sekiranya dua anak perempuan juga mendapatkan
bagian setengah tentu akan disebutkan di sini. Ketika satu anak mendapatkan setengah
karena tunggal, Allah SWT menjelaskan bahwa dua anak perempuan
sama jatahnya dengan tiga anak perempuan.
Bagian orang
tua. Orang tua dalam ilmu waris dibagi menurut beberapa kondisi berikut. Ketika anak masih ada, jatah masing-masing ayah dan ibu adalah
seperenam. Ketika hanya ada orang tua, ibu mendapat sepertiga dan sisanya
untuk ayah sebagai hak ‘ashabah. Orang tua dan
saudara sama-sama ada baik saudara kandung, sebapak,
maupun seibu. Meski tidak memengaruhi bagian ayah, mereka dapat mengurangi
bagian ibu dari sepertiga menjadi seperenam. Dalam hal ini jika tidak ada ahli
waris lain maka setelah seperenam, semua sisa warisan diambil ayah.
Dahulukan hutang
dan wasiat. Para ulama, baik yang salaf maupun yang khalaf, sama-sama sepakat
bahwa pembayaran hutang didahulukan pada wasiat. Saudara
seibu saling mewarisi satu sama lain, di luar mereka yang berasal dari satu
keluarga. Seseorang dapat menjadi waris dari saudara kandungnya, tetapi tidak
saudaranya sebapak.[29]
2.
Q.S. An-Nisa Ayat 12
Artinya :
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta
yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan
jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat
yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai)
syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”
Tafsir Ayat :
a.
Dalam kitab tafsir Shafwatut Tafaasir menerangkan
bahwa dalam ayat ini Allah menyebut peroleh warisan
suami dan istri. Para
suami memiliki
bagian seperdua (setengah) dari harta yang ditinggalkan istri-istrinya, jika mereka tidak mempunyai
anak darinya atau selain darinya. Istri-istri mendapatkan satu
dan bahkan lebih memperoleh bagian seperempat dari harta warisan yang ditinggalkan
suaminya jika ia tidak mempunyai anak.
Jika suami
mempunyai anak dari mereka (istri)
atau selain mereka
(istrinya yang lain), maka istrinya memperoleh bagian seperdelapan
dari harta yang ia
tinggalkan.
Jika seseorang mati (mayit)
baik laki-laki atau perempuan mewariskan kalalah (tidak
mempunyai anak dan tidak mempunyai bapak), maka yang akan mewarisinya adalah
sanak keluarga jauh, karena tidak adanya asal
(orang tua) dan furu’ (anak-anak), yaitu yang mewarisinya adalah
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu.
Saudara
laki-laki seibu memperoleh bagian seperenam dan saudari perempuan seibu juga
memperoleh seperenam jika saudara laki-laki dan saudari perempuan seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka mendapatkan bagian sepertiga untuk semuanya,
baik laki-laki maupun perempuan bagian warisannya sama. Allah berpesan
kepada kamu tentang hal itu sebagai wasiat. Allah Maha Mengetahui tentang apa yang disyariatkan-Nya, Dan Allah Maha Penyantun, tidak tergesa-gesa dalam
memberi siksa kepada orang yang menentang perintah-Nya.[30]
b. Tidak
jauh berbeda dengan tafsir sebelumnya, dalam kitab tafsir Ibnu Katsir menerangkan bahwa dalam ayat
ini Allah menjelaskan tentang hak waris suami istri, bahwa untuk kaum
laki-laki separuh dari warisan yang ditinggalkan oleh istri kalian jika mereka
meninggal tanpa seorang anak pun. Namun, jika mereka
memiliki anak, kalian hanya berhak mendapatkan seperempat dari harta warisan
yang ditinggalkannya.
Adapun mengenai
kalalah, Abu Bakar Siddiq berpendapat bahwa kalalah adalah
seseorang yang tidak lagi mempunyai anak maupun bapak.
Hukum saudara seibu. Pertama, mereka berhak
mewarisi bersama-sama dengan orang yang menghubungkan mereka dengan almarhum, yaitu ibu. Kedua, baik
laki-laki maupun perempuan haknya dalam warisan sama. Ketiga, mereka
hanya menjadi ahli waris ketika seseorang meninggal sebagai kalalah, dengan
begitu mereka tidak dapat apa-apa dari warisan ketika ada ayah atau kakek, anak
atau cucu. Keempat, hak mereka tidak lebih dari sepertiga, berapa pun
jumlahnya, tidak ada perbedaan apakah mereka laki-laki atau perempuan.[31]
3.
Q.S. An-Nisa Ayat 176
Artinya :
“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah).
Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika
seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, Maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta
saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan
itu dua orang, Maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh
yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Tafsir Ayat :
a. Dalam kitab tafsir Shafwatut Tafaasir menerangkan
bahwa dalam ayat ini jika
seorang meninggal dunia, dan dia tidak mempunyai
orang tua dan anak (kalalah), dan
dia mempunyai saudara perempuan sekandung (tunggal bapak-ibu), atau saudara
perempuan sebapak, maka bagi saudara perempuannya itu seperdua dari harta yang
ditinggalkan saudaranya. Dan saudara laki-lakinya yang sekandung dan sebapak
mempusakai seluruh harta saudara perempuan, jika ia tidak mempunyai anak. Jika
saudara perempuan itu ada dua atau lebih, maka keduanya memperoleh dua pertiga
dari harta yang ditinggalkan saudara laki-laki keduanya. Jika ahli waris terdiri dari campuran saudara
laki-laki dan saudara perempuan, maka bagian saudara laki-laki dua kali bagian
saudara perempuan. Allah
menerangkan hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya kepadamu karena khawatir kamu
tersesat. Allah
mengetahui sesuatu yang ada maslahat dan manfaatnya bagi kamu, Dia mengetahui
maslahat-maslahat hamba-Nya, baik ketika mati dan hidup.[32]
b.
Dalam
kitab tafsir Ibnu Katsir bahwa dalam
ayat ini
diterangkan mengenai Hukum Kalalah, mayoritas ulama menafsirkan kalalah
dengan orang yang meninggal tanpa memiliki anak ataupun ayah yang akan
mewarisi. Hukum kalalah telah menjadi persoalan tersendiri bagi Amirul
Mukminin Umar bin Khaththab. Seperti termaktub dalam Shahih Al Bukhari dan
Shahih Muslim, “Tiga hal yang saya harapkan diterangkan lagi oleh Rasullullah
SAW sebagai pegangan, yaitu bagian kakek, masalah kalalah, dan salah
satu bab mengenai riba.”[33]
K. Ayat-Ayat
Waris Tambahan
Beberapa
ayat yang dapat dianggap sebagai ayat-ayat waris tambahan terdapat di beberapa
surah,
antara lain surah An-Nisa,
Al-Anfal, dan Al-Ahzab. Berikut ini ayat
serta terjemahan dan intisari untuk masing-masing ayat tersebut.
1. Q.S. An-Nisa Ayat 7
Artinya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian
yang telah ditetapkan.”
Simpulan
atau intisari dari Q.S. An-Nisa Ayat 7 ini :
Laki-laki dan wanita (baik
masih kecil maupun sudah dewasa, baik kuat berjuang maupun tidak) sama-sama
mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan meskipun dengan jumlah bagian
yang tidak sama. Ayat ini sekaligus menghapus ketentuan warisan pada masa Jahiliyah yang memberikan harta
warisan kepada laki-laki saja, ditambah lagi dengan syarat harus sudah dewasa
dan kuat berjuang
(berperang).
2. Q.S. An-Nisa Ayat 8
Artinya :
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat,
anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Simpulan
atau intisari dari Q.S.
An-Nisa Ayat
8 ini :
Ayat ini memberikan anjuran
kepada keluarga yang melaksanakan pembagian harta warisan agar memperhatikan
kerabat (yang tidak memperoleh harta warisan), anak yatim, dan orang miskin
serta memberikan sebagian (sekedarnya) dari harta warisan kepada mereka
sehingga mereka tidak berkecil hati atas pembagian harta itu.
3. Q.S. An-Nisa Ayat 9
Artinya :
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka
khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada
Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”
Simpulan
atau intisari dari Q.S.
An-Nisa Ayat
9 ini :
Ayat ini memberikan tuntunan
kepada orang-orang yang memiliki harta agar sebelum wafat memperhatikan
kesejahteraan anak keturunan mereka, misalnya dengan mengutamakan pemberian
harta warisan kepada anak daripada pemberian wasiat kepada orang lain, sehingga
kebutuhan dan kesejahteraan anak nantinya dapat dipenuhi dengan layak.
4. Q.S. An-Nisa Ayat 10
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Simpulan
atau intisari dari Q.S.
An-Nisa Ayat
10 ini :
Ayat ini memberikan tuntunan
kepada kerabat dari yang meninggal agar anak-anak yang ditinggalkan oleh orang
tua mereka, terutama yang masih belum baligh (masih kanak-kanak)
hendaklah bagian mereka disimpan dan dijaga sebaik-baiknya supaya mereka
(anak-anak yatim itu) nantinya dapat menggunakan harta warisan yang menjadi hak
mereka dari orang tua mereka, bukan malah sebaliknya memakan harta anak yatim
itu secara zhalim.
5. Q.S. An-Nisa Ayat 13
Artinya :
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang
besar.”
Simpulan
atau intisari dari Q.S.
An-Nisa Ayat
13 ini :
Ayat ini memberikan janji
balasan Allah atas orang-orang yang melaksanakan hukum waris (membagi harta
warisan) sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa surga di
akhirat kelak.
6. Q.S. An-Nisa Ayat 14
Artinya :
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke
dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya, dan baginya siksa yang
menghinakan.”
Simpulan
atau intisari dari Q.S.
An-Nisa Ayat
14 ini :
Ayat ini memberikan ancaman
Allah atas orang-orang yang membagi harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan
Allah dan Rasul-Nya, yaitu berupa
neraka di akhirat kelak.
7. Q.S. An-Nisa Ayat 19
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata, dan
bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”
Simpulan
atau intisari dari Q.S.
An-Nisa Ayat
19 ini :
Ayat ini menghapus adat Jahiliyah yang menjadikan
wanita sebagai harta warisan, karena pada masa Jahiliyah
apabila seorang laki-laki meninggal dunia, maka anaknya yang tertua atau
anggota keluarganya yang lain mewarisi janda itu. Janda tersebut boleh dikawini
sendiri atau dikawinkan dengan orang lain yang maharnya diambil oleh keluarga
pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi. Ayat
ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa
dibolehkan. Dengan demikian, maka tidak diperbolehkan lagi wanita dijadikan
sebagai harta warisan dari suaminya yang
meninggal lebih dahulu.
8. Q.S. An-Nisa Ayat 33
Artinya :
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang
ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya, dan
(jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka
berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala
sesuatu.”
Simpulan
atau intisari dari Q.S.
An-Nisa Ayat
33 ini :
Ayat ini pada awalnya
merupakan dasar hukum yang membolehkan adanya hak waris-mewarisi antara dua
orang yang melakukan sumpah-setia (muhalafah) pada masa Jahiliyah, tetapi kemudian
menurut sebagian ahli tafsir ayat ini di nasakh
(dihapus) dengan turunnya Surah Al-Anfal
ayat 75 sehingga muhalafah tidak bisa lagi dijadikan salah satu sebab
mewarisi.
9. Q.S. An-Nisa Ayat 127
Artinya :
“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga
memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka
apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah, dan (Allah menyuruh kamu) supaya
kamu mengurus anak-anak yatim secara adil, dan kebajikan apa saja yang kamu
kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.”
Simpulan
atau intisari dari Q.S.
An-Nisa Ayat
127 ini :
Dalam ayat ini dijelaskan
bahwa wanita juga mendapat bagian harta warisan secara pasti, sedikit atau
banyak. Dengan demikian, wanita juga bisa menjadi ahli waris, sama seperti laki-laki. Menurut
adat Arab Jahiliyah,
seorang wali berkuasa atas wanita yatim yang dalam asuhannya dan berkuasa akan
hartanya. Jika wanita yatim itu cantik dikawini dan diambil hartanya. Jika
wanita itu buruk rupanya, dihalanginya kawin dengan laki-laki yang lain supaya
dia tetap dapat menguasai hartanya. Kebiasaan tersebut
dilarang melakukannya oleh ayat ini.
10. Q.S. Al-Anfal Ayat 72
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan
orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang
Muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi, dan (terhadap)
orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban
sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi)
jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka
kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian
antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Simpulan
atau intisari dari Q.S.
Al-Anfal
Ayat
72 ini :
Yang dimaksud
lindung-melindungi ialah di antara Muhajirin
dan Anshar
terjalin persaudaraan yang amat teguh disebut Muakhkhah,
untuk membentuk masyarakat yang baik. Demikian keteguhan dan keakraban
persaudaraan mereka itu, sehingga pada permulaan
Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung. Ayat
ini pada mulanya menjadi dasar hukum yang menjadikan muakhkhah
(persaudaraan antara Muhajirin
dan Anshar)
sebagai sebab waris-mewarisi.
11. Q.S. An-Anfal Ayat 75
Artinya :
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu kemudian berhijrah
serta berjihad bersamamu, maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga).
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Simpulan atau intisari dari
Q.S. Al-Anfal Ayat 75
ini :
Ayat ini menjelaskan bahwa
salah satu yang menjadi dasar (sebab) waris-mewarisi dalam Islam
ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang
terjadi antara Muhajirin
dan Anshar
pada permulaan Islam. Ayat ini sekaligus menasakh
(menghapus) ketentuan dalam Q.S. Al-Anfal ayat 72 sehingga muakhkhah
(persaudaraan antara muhajirin dan anshar) tidak dijadikan lagi sebagai sebab
waris-mewarisi.
12. Q.S. Al-Ahzab Ayat 4-5
Artinya :
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang
dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu
saja, dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang
benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu, dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Simpulan atau intisari dari
Q.S. Al-Ahzab
Ayat 4-5
ini :
Ayat ini menegaskan bahwa
status hukum anak angkat tidak sama dengan anak kandung, seperti halnya status
hukum isteri tidak sama dengan ibu. Dengan demikian, dalam hal kewarisan maka
anak angkat tidak mendapat hak waris atas harta peninggalan orang tua
angkatnya. Jadi ayat ini melarang untuk menyamakan anak angkat dengan anak
kandung.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa Jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.
Ayat ini sekaligus menasakh (menghapus) ketentuan pembagian warisan pada masa Jahiliyah yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam pembagian warisan.
13. Q.S. Al-Ahzab Ayat 40
Artinya
:
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di
antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan Allah
Maha Mengetahui
segala sesuatu.”
Simpulan atau intisari dari
Q.S. Al-Ahzab
Ayat 40
ini :
Dalam ayat ini dinyatakan
bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah ayah dari salah seorang sahabat. Dengan
demikian, bekas istri Zaid dapat dinikahi oleh Rasulullah SAW karena Zaid
adalah anak angkat Rasulullah SAW. Seandainya
Zaid sebagai anak angkat Rasulullah SAW disamakan statusnya dengan anak
kandung, maka Rasulullah SAW tidak boleh menikahi mantan istri Zaid. Demikian
pula halnya kalau anak angkat dijadikan sebagai anak kandung, maka akan membawa
pengaruh terhadap pembagian warisan. Seperti
juga Q.S. Al-Ahzab ayat 4-5, ayat ini menasakh (menghapus) ketentuan
pembagian warisan pada masa Jahiliyah
yang menjadikan status anak angkat sama dengan status anak kandung dalam
pembagian warisan.[34]
L.
Pembagian
Warisan Dengan Ilmu
Faraid
Ilmu
faraid adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang membahas tentang aturan
pembagian warisan seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya
yang masih hidup, baik harta maupun hak-haknya yang legal sesuai syariat Islam.
Ahmad
Bisyri Syakur dalam bukunya “Panduan Lengkap Mudah Memahami Hukum Waris
Islam: Dilengkapi Hibah Dan Wasiat” mengutip perkataan Wahbah Az-Zuhayli
(ahli ilmu faraid) yang memaparkan bahwa, ilmu faraid adalah aturan-aturan
hukum fikih dan penghitungannya yang memberi informasi tentang jatah setiap
ahli waris dari harta warisan.[35]
Beliau
juga mengutip perkataan Syeikh Sayyid Sabia dalam Kitab Fiqh Sunnah
(halaman 434) yang menjelaskan bahwa ilmu faraid adalah ilmu pengetahuan
tentang jatah warisan yang telah ditentukan oleh Allah SWT.[36]
Sementara
itu, hukum waris menurut Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur
tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
(BAB I Ketentuan Umum Pasal 171 (a)).
Dalam
ilmu faraid, dijelaskan apa yang dimaksud dengan harta waris, siapakah yang
berhak menerimanya, apa penyebab mendapatkan warisan, dan apa penyebab tidak
mendapatkan warisan, sehingga harta yang diperoleh dipastikan menjadi harta
yang halal untuk dimanfaatkan dalam kehidupan.
Ilmu
faraid sangatlah penting bagi setiap orang, baik muslim maupun nonmuslim. Hal
ini disebabkan alasan sebagai berikut :
1. Adanya penghalalan kepemilikan karena dengan pembagian
harta warisan yang menggunakan ilmu faraid dapat dipastikan bagi seseorang akan
kehalalan harta yang didapatnya. Pembagian warisan tanpa ilmu faraid adalah
pendapatan tidak halal.
2. Lebih adil karena pembagian harta warisan langsung
berdasarkan firman Allah SWT.
3. Menghindari fitnah dan perebutan harta warisan. Dengan
menguasai dan menggunakan ilmu faraid, pembagian harta warisan tidak akan
menimbulkan fitnah dan pertengkaran keluarga. Pertengkaran antarkeluarga dalam
masalah pembagian warisan hanyalah karena pembagian yang subjektif dan cenderung
mengikuti hawa nafsu masing- masing anggota keluarga saja.
Dengan
pembagian warisan yang menggunakan ilmu faraid, setiap ahli waris akan
mendapatkan hak mereka sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Namun perlu diingat,
penggunaan ilmu faraid dalam pembagian warisan harus dilakukan oleh
sumber daya manusia yang memahami secara mendalam akan ilmu
tersebut.[37]
M. Hikmah Adanya Hukum Waris
Beberapa hikmah yang dapat
diambil dari pengaturan waris menurut Islam
antara lain sebagai berikut :
1.
Dengan adanya ketentuan waris
itu di samping
akan membawa keteraturan dan ketertiban dalam hal harta benda, juga untuk
memelihara harta benda dari satu generasi ke generasi lain.
2.
Dapat menegakkan nilai-nilai
perikemanusiaan, kebersamaan dan demokratis di antara manusia, khususnya dalam
soal yang menyangkut harta benda.
3.
Dengan mempelajari ilmu waris
berarti seorang muslim telah ikut memelihara dan melaksanakan ketentuan-ketentuan
dari Allah SWT yang terdapat dalam Al Quran.
4.
Dengan mengetahui ilmu waris, maka setiap anggota keluarga
akan memahami hak-hak dirinya dan hak-hak orang lain, sehingga tidak akan
terjadi perebutan terhadap harta warisan tersebut.
5.
Menghindari perpecahan antarkeluarga yang
disebabkan oleh pembagian harta warisan yang tidak adil. Mengalirkan harta peninggalan
kepada yang lebih bermanfaat agar lebih terjaminnya kesejahteraan keluarga
secara merata.
6.
Memelihara harta peninggalan
dengan baik sehingga harta itu menjadi amal jariah bagi si mayit.
7.
Memperhatikan anak yatim karena
dengan harta yang ditinggalkan oleh orang tuanya kehidupan anak-anak yang ditinggalkan
itu akan lebih terjamin.
8.
Dengan pembagian yang merata
sesuai dengan syariat, maka masing-masing
anggota keluarga akan merasakan suatu kepuasan sehingga dapat hidup dengan
tentram.[38]
[1]Ahmad
Warson Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya : Pustaka Progressif, 1997). Cet. 14. Hal. 1550-1551.
[2]Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995). Cet. 1. Hal. 33.
[3]Ahli
waris yang mempunyai hubungan darah tetapi tidak berhak menerima warisan, baik
bagian tertentu atau ‘ashabah (sisa) seperti cucu garis perempuan. Ahli
waris ini dapat menerima bagian melalui wasiat wajibah.
[5]Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam...... Hal. 39.
[6]Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam...... Hal. 39.
[7]Ahli
waris yang berhak menerima bagian tertentu.
[8]Ahli
waris yang menerima bagian sisa.
[9]Ahli
waris yang terkurangi atau terhalang hak warisnya oleh ahli waris yang lain.
[10]Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam...... Hal. 40-41.
[13]Kas negara.
[16]Kewajiban
individual.
[18]Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam...... Hal. 38-39.
[19]Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam...... Hal. 36-38.
[23]Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam...... Hal. 41.
[24]Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam...... Hal. 41-42.
[25]Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam...... Hal. 42.
[26]M.
Nashiruddin Al-Albani ; Penerjemah ; Elly Lathifah, Ringkasan Shahih
Muslim, (Jakarta :
Gema Insani Press, 2005). Bab : Orang Muslim
Tidak Boleh Mewarisi Harta Orang Kafir, Dan Orang Kafir Tidak Boleh Mewarisi
Harta Orang Muslim. Hadits No. 994. Cet. 1. Hal. 470.
[27]Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; A. M. Basalamah, Pembagian Waris
Menurut Islam...... Hal. 42-43.
[28]Syaikh
Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; KH. Yasin, Shafwatut Tafaasir ;
Tafsir-Tafsir Pilihan, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2011). Jilid. 1. Cet. 1. Hal. 604-606.
[29]Syaikh
Shafiyurrahman Al-Mubarakfury ; Penerjemah ; Imam Ghazali, Al-Misbah Al-Munir Fii Tahdzib Tafsir Ibnu
Katsir, (Bandung : Sygma Creative Media Corp, 2012). Jilid. 2. Cet. 1.
Hal. 136-143.
[30]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; KH.
Yasin, Shafwatut Tafaasir ; Tafsir-Tafsir Pilihan…… Hal. 606-607.
[31]Syaikh
Shafiyurrahman Al-Mubarakfury ; Penerjemah ; Imam Ghazali, Al-Misbah Al-Munir Fii Tahdzib Tafsir
Ibnu Katsir...... Hal. 316-318.
[32]Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni ; Penerjemah ; KH.
Yasin, Shafwatut Tafaasir ; Tafsir-Tafsir Pilihan…… Hal. 768.
[33]Syaikh
Shafiyurrahman Al-Mubarakfury ; Penerjemah ; Imam Ghazali, Al-Misbah Al-Munir Fii Tahdzib Tafsir
Ibnu Katsir...... Hal. 458-464.
[34]Blog
Achmad Yani, S.T., M.Kom., Al-Faraaidh Wa
Al-Mawaarits-Berbagi Ilmu Faraidh-Hukum Waris Islam, http://achmadyanimkom.blogspot.co.id/2010/11/ayat-ayat-mawaris.html, diunduh pada tanggal 10 Maret 2017. Pukul. 08.03. WITA.
[35]Ahmad
Bisyri Syakur, Lc., M.A., Panduan Lengkap Mudah Memahami Hukum Waris
Islam : Dilengkapi Hibah Dan Wasiat, (Jakarta : Visimedia Pustaka,
2015). Cet. 1. Hal. 3.
[36]Ahmad
Bisyri Syakur, Lc., M.A., Panduan Lengkap Mudah Memahami Hukum Waris
Islam : Dilengkapi Hibah Dan Wasiat…… Hal.
3.
[37]Ahmad
Bisyri Syakur, Lc., M.A., Panduan Lengkap Mudah Memahami Hukum Waris
Islam : Dilengkapi Hibah Dan Wasiat...... Hal. 3-4.
[38]Ali Parman, Kewarisan Dalam Al Quran : Suatu
Kajian Hukum Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 1995). Cet. 1. Hal. 147-148.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar