Ilustrasi Wanita Haidh (Menstruasi) |
A.
Definisi Haid
Secara
etimologi (bahasa) haid berarti aliran atau sesuatu yang mengalir. Adapun
pengertian haid secara terminologi (istilah) yaitu darah yang mengalir dari
dasar rahim seorang wanita usia aqil baligh, yang bukan karena disebabkan oleh suatu
penyakit atau karena adanya proses persalinan, serta terjadi pada hari-hari tertentu dan berulang pada periode
(waktu) tertentu dimana keluarnya darah itu merupakan
sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Allah kepada seorang wanita.[1]
Dalam
lanskap ilmu kedokteran modern, haid adalah meluruhnya jaringan endometrium
karena tidak adanya telur matang yang dibuahi oleh sperma. Realita tersebut
merupakan hal yang alami, dan setiap wanita normal pasti mengalaminya, karenanya
para pakar kedokteran menyebut haid sebagai pengeluaran secara periodik darah
dan sel-sel tubuh dari vagina yang berasal dari dinding rahim wanita, yang
dimulai saat pubertas untuk menandai kemampuan seorang wanita untuk mengandung
anak.
Haid
merupakan bagian dari proses reguler yang mempersiapkan tubuh wanita setiap
bulannya untuk kehamilan. Siklus ini melibatkan beberapa tahap yang
dikendalikan oleh interaksi hormon yang dikeluarkan oleh hipotalamus, kelenjar
di bawah otak depan dan indung telur. Pada permulaan siklus, lapisan sel rahim
mulai berkembang dan menebal. Hormon memberi sinyal pada telur di dalam indung
telur untuk mulai berkembang. Tak lama kemudian, sebuah telur dilepaskan dari
indung telur wanita dan mulai bergerak menuju tuba falopi terus ke rahim. Bila
telur tidak dibuahi oleh sperma lapisan rahim akan berpisah dari dinding uterus
dan mulai luruh serta akan dikeluarkan melalui vagina. Periode pengeluaran
darah inilah yang disebut haid atau
menstruasi.[2]
B. Warna Darah Haid
Ada
dalil otentik yang berasal dari sabda Rasul SAW, bahwa warna darah haid adalah
hitam, “Darah haid itu hitam dan dikenali” realitanya warna darah haid yang umum dijumpai
pada wanita yang sedang haid juga berwarna merah tua (membara),
kekuning-kuningan, keruh (seperti warna air yang kotor) dan turbat
(seperti warna tanah). Semua warna darah tersebut, apabila masa haid habis
tidak lagi disebut haid, tetapi disebut Al-Irqu (darah yang berasal dari pembuluh
darah) serta tak ada larangan shalat maupun puasa.
Imam Syafi’i menjelaskan, warna darah haid itu ada
lima, yaitu :
1.
Hitam (paling dominan).
2.
Merah membara.
3.
Coklat (seperti wama tanah).
4.
Kekuning-kuningan.
5.
Keruh (seperti warna air yang kotor).
Imam Hanafi menuturkan, warna darah haid itu ada
enam, yaitu :
1.
Hitam
2.
Merah
3.
Kuning
4.
Hijau
5.
Seperti warna tanah
6.
Seperti warna air keruh.
Tentunya
warna-warna yang disebutkan di atas adalah warna darah semasa waktu haid,
adapun paska haid apapun bentuknya oleh Rasul SAW. cairan/darah itu dianggap Irq
(darah yang berasal dari pembuluh darah).[3]
C. Masa Haid
Haid terjadi pada wanita saat memasuki usia aqil
baligh. Usia produktif wanita umumnya pada kisaran sembilan tahun ke atas serta berakhir sampai pada usia menopause
(berhenti haid). Jika terlihat darah sebelum atau sesudah umur tersebut, maka
itu adalah darah penyakit atau wanita tersebut sedang mengalami pendarahan.
Tidak ada rujukan nash Al Quran maupun teks hadits
Rasul SAW. yang memastikan waktu akil baligh maupun menopause wanita. Akan tetapi,
ketika seorang wanita baik usia muda maupun tua mendapati ada darah hitam yang
keluar dari alat reproduksinya maka itulah yang disebut haid, ia tidak
dibolehkan shalat serta melakukan ibadah lainnya. Rasul SAW. bersabda, “Darah
haid itu hitam dan dikenali (oleh kaum wanita). Jika demikian adanya, maka
hendaknya kamu berhenti shalat.”
Rasulullah SAW. juga menegaskan haid merupakan
kodrat kewanitaan setiap perempuan, yang telah digariskan Allah kepada kaum
Hawa, "Itu adalah suatu perkara yang telah ditetapkan Allah Azza wa
Jalla atas kaum wanita anak keturunan Adam. Maka lakukanlah apa yang biasa
dilakukan...” Dan haid itu oleh Rasul SAW. ditandai dengan adanya darah
hitam yang keluar dari alat reproduksi wanita. Rasul SAW. juga menambahkan
setiap wanita pasti mengenali darah hitam itu. Dengan demikian, kapanpun
seorang wanita melihat darah hitam keluar dari rahimnya, berapapun umurnya, maka
ia disebut wanita haid. Inilah pendapat mayoritas para alim fiqih perihal waktu
haid. Para ahli anatomi dan fisiologi menuturkan, masa haid wanita dimulai pada
usia sembilan tahun hingga usia menopause. Demikian pula dengan pendapat para
alim fiqih.
Imam Syafi’i mengemukakan, tidak ada batasan waktu
tertentu untuk menentukan waktu menopause (wanita tidak lagi haid). Tetapi,
kebanyakan menopause terjadi pada usia 62 tahun. Imam Ahmad bin Hambal menyebutkan
masa menopause pada kisaran umur 50 tahun. Imam Malik menyebutkan usia
menopause wanita adalah 70 tahun. Imam Hanafi menyebutkan bahwa usia menopause
wanita 55 tahun.
Jika kita jeli mencermati pendapat-pendapat para
ulama fiqih tersebut, dasar argumen mereka murni berdasarkan pengamatan (studi
lapangan) mereka terhadap ihwal wanita zaman mereka. Dan sama sekali tidak
terkait dengan teks-teks syariat.[4]
D. Durasi Waktu Haid
Tidak ada batasan atau rentang waktu tertentu tentang
terjadinya haid pada kaum wanita. Sebab, masing-masing wanita berbeda kondisi
dan keadaannya. Demikian halnya dengan waktu dan rentang haid yang mereka alami
juga berbeda, sebagaimana perbedaan mereka dalam bereproduksi, permulaan akil
baligh, serta masa menopause. Tidak ada keseragaman waktu dan ketentuan waktu
untuk semua itu karena hal tersebut berpulang kepada takdir masing-masing
wanita.
Ada
wanita yang siklus haidnya teratur yakni datang bulan pada waktu yang sama
perbulannya, demikian pula dengan berhentinya haid juga berlangsung dalam kurun
waktu yang sama setiap bulannya. Akan tetapi, tidak sedikit kaum wanita yang
mengalami haid tak teratur. Tidak bisa dipastikan kapan datangnya haid dan
tidak diketahui kapan berakhirnya. Kadang ada yang terlambat haid, kadang pula
haid datang sebelum waktunya. Realita tersebut berkaitan erat dengan kondisi
fisik maupun psikologis masing-masing wanita, juga bisa disebabkan oleh
temperatur udara maupun pola hidup masing-masing wanita.
Para
ahli medika, anatomi dan fisiologi mengemukakan bahwa “Rentang waktu (lama dan
cepat) masa haid yang dialami wanita, satu sama lain berbeda disebabkan oleh
banyak faktor yang melingkupi masing-masing wanita. Karenanya, sangat tidak
logis menentukan batasan masa berlangsungnya haid wanita, baik batasan waktu
tercepat maupun terlama, sebab tidak ada konsesus teks (Quran dan
hadits Nabi) yang meyatakan detil waktu ataupun batasan yang dijalani wanita
saat haid (datang
bulan).
Imam
Syafi'i dan Hambali mengemukakan, batas waktu tercepat masa berakhirnya haid
adalah sehari semalam. Umumnya masa haid berakhir dalam waktu enam atau tujuh hari.
Batas waktu paling lama berlangsungnya haid adalah lima belas hari.
Imam
Hanafi menuturkan, batas waktu tercepat masa berlangsungnya haid adalah tiga
hari tiga malam. Umumnya berlangsung lima hari, sedangkan batas waktu terlama
masa haid adalah sepuluh hari.
Imam
Malik menjelaskan, tidak ada batasan waktu tertentu bagi waktu tercepat maupun
terlama masa berlangsungnya haid. Imam Malik juga menuturkan, tidak ada arahan
teks yang menunjukkan detil waktu masa terlangsungnya haid, kalaupun ada yang
mengusung dalil tekstual, dapat dipastikan hadits-hadits yang dipakai berasal
dari hadits Dha’if (lemah) yang tidak bisa dipakai dasar argumen
perumusan hukum.
Dengan
demikian jelas sekali, pendapat para alim ulama fiqih yang berpendapat tentang batas
waktu (tercepat maupun terlama) masa berlangsungnya haid adalah murni
berdasarkan fikrah (gagasan mikiran) mereka, yang bepijak pada realita
kehidupan wanita zaman masing-masing. Sedangkan Al Quranul Karim dengan jelas
tidak menyebut durasi waktu maupun batasan (tercepat dan terlama) masa
berlangsungnya haid. Seperti yang terkandung dalam firman Allah Ta’ala dalam
Q.S. Al-Baqarah ayat 222 berikut :
Artinya :
“Mereka
bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid. Katakanlah : Haid itu adalah kotoran. Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka,
sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai
orang-orang yang mensucikan diri.”
Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa haid itu adalah kotoran. Allah juga menegaskan untuk
menjauhkan diri dari wanita haid sampai sang wanita suci dari haidnya, ayat
tersebut sama sekali tidak menyebutkan batasan waktu dan
durasi hari perihal masalah haid. Ayat tersebut juga merupakan penegasan bahwa
haid inilah yang menjadi pokok hukum, jika ada haid berarti berlaku hukum yang
terkait dengan haid, jika tidak ada haid maka tak berlaku pula hukum yang
terkait dengannya.[5]
E. Durasi Waktu Suci
Maksud suci dari haid ialah steril (bersih) wanita
dari darah haid atau berhentinya aliran darah dari rahim wanita pada masa haid.
Adapun tanda bersih dari haid itu ada dua, yakni :
1. Darah
kering.
2. Cairan
putih jernih yang keluar di penghujung waktu haid.
Imam
Hambali menuturkan, durasi waktu suci yang memisahkan dua haid (antara satu
haid ke haid berikutnya) adalah tiga belas hari. Imam Syafi’i, Imam Malik juga
Imam Hanafi menuturkan. Durasi waktu suci ialah lima belas hari. Para alim
fiqih bersepakat bahwa tidak ada batasan waktu tertinggi (paling lama) terkait
durasi waktu suci ini.
Semua
argumen yang dikemukakan para ulama fiqih, murni berdasarkan realita kehidupan
wanita zaman masing-masing. Dan cara paling (aman) untuk mengetahui dan
menyikapi durasi waktu suci adalah tidak membatasi waktu tercepat ataupun terlama,
tetapi mengembalikan masalah ini kepada kondisi masing-masing wanita. Sebab,
antara satu wanita dengan wanita lain tidak sama kondisi fisik dan psikologisnya,
hal tersebut pasti mempengaruhi percepatan maupun lambannya masa suci haid
masing-masing. Lebih daripada itu, tidak ada dalil tekstual (baik Quran maupun
Hadits) yang bisa dipakai rujukan untuk merumuskan masalah ini.[6]
F. Tata Cara Mandi Setelah
Haid
Ada perbedaan tata cara Thaharah (bersuci) antara kaum wanita dan
kaum pria. Berikut ini hadits-hadits Rasulullah SAW. yang mengemukakan tentang Kayfiyat
(tata cara) mandi besar wanita setelah haid.
Imam Ahmad berkata, “Mandi
dari janabat adalah seperti yang disebutkan dalam hadits” Aisyah Radhiyallahu
‘anha, berkata :
كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ
يَدَيْهِ ، وَ تَوَضَّأَ وُضُوْءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ
، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ
، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ.
Artinya :
“Apabila Rasulullah SAW. mandi junub, beliau memulainya dengan membasuh kedua
tangannya tiga kali, kemudian wudhu’ seperti mau shalat dan menyiramkan air ke pangkal rambutnya dengan tangannya. Jika beliau menganggap air sudah sampai ke
seluruh kulitnya, maka beliau menyiramkan air padanya tiga kali, kemudian
membasuh seluruh anggota badannya.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menjelaskan
tentang mandi junub. Para ulama berkata, “Mandi haid sama dengan mandi junub.”
Wanita disunnahkan untuk mandi menggunakan air yang dicampur dengan daun bidara,
kemudian mengambil kain yang telah diberikan misk (pewangi) dan membersihkan
tempat keluarnya darah dan tempat-tempat yang harus sampai air kepadanya di
kemaluannya, untuk membersihkan sisa-sisa darahnya dan baunya. Jika tidak
mendapatkan misk maka dapat menggunakan pewangi lainnya. Apabila tidak
mendapatkan pewangi, maka air sudah cukup.
Hal ini disebutkan dalam
hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
سَأَلَتِ امْرَأَةٌ
النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَيْفَ تَغْتَسِلُ مِنْ حَيْضَتِهَا ، قَالَ فَذَكَرَتْ أَنَّهُ عَلَّمَهَا
كَيْفَ تَغْتَسِلُ ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مِنْ مِسْكٍ فَتَطَهَّرُ بِهَا . قَالَتْ
كَيْفَ أَتَطَهَّرُ بِهَا ، قَالَ تَتَهَّرِى بِهَا سُبْحَانَ اللهِ . وَاسْتَتَرَ
، قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ وَاجْتَذَبْتُهَا إِلَىَّ وَ عَرَفْتُ مَا أَرَادَ النَّبِىُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ تَتَّبَعِى بِهَا أَثَرَ الدَّمِ.
Artinya :
Bahwasanya seorang
perempuan bertanya kepada Rasulullah SAW. mengenai mandi haid?, Rasulullah SAW.
bersabda : “Salah seorang di antara kalian mengambil air dan daun bidara,
kemudian memperbaiki mandinya. Setelah itu mengambil kain yang diberi misk (pewangi) dan membersihkan diri dengannya”.
Perempuan itu bertanya, “Bagaimana kami bersuci dengannya?”, Rasulullah SAW.
menjawab, “Maha Suci Allah, kamu membersihkan diri dengannya! Asiyah, ia
berkata, “Seakan-akan beliau merisihkan hal itu, aku katakan, “bersihkanlah
bekas-bekas darah.” (HR. Muslim)[7]
Dari uraian hadits-hadits
Rasulullah SAW tersebut, ada beberapa catatan yang mesti diperhatikan kaum
wanita saat mandi besar. Di antara hal-hal yang harus diperhatikan harus
diperhatikan kaum wanita saat mandi besar, yaitu:
1. Mengucapkan niat.
2. Membaca basmalah.
3. Mencuci kedua telapak tangan tiga kali.
4. Mencuci farj (alat vital) serta bagian tubuh yang kotor (bekas darah) menggunakan air dan wewangian.
5. Memastikan bahwa bagian-bagian tubuh yang terkena kotoran (bekas darah haid) benar-benar telah terbilas air.
6. Berwudhu secara sempurna, sebagaimana wudhu untuk shalat.
7. Mengambil air dan mengalirkannya di kepala sebanyak tiga kali sehingga sampai ke akar rambutnya.
8. Mengalirkan air ke seluruh tubuh dan menggosok-gosokkan badannya dengan tangannya.
9. Mengerjakannya dengan tertib dan mendahulukan bagian yang kanan.[8]
3. Mencuci kedua telapak tangan tiga kali.
4. Mencuci farj (alat vital) serta bagian tubuh yang kotor (bekas darah) menggunakan air dan wewangian.
5. Memastikan bahwa bagian-bagian tubuh yang terkena kotoran (bekas darah haid) benar-benar telah terbilas air.
6. Berwudhu secara sempurna, sebagaimana wudhu untuk shalat.
7. Mengambil air dan mengalirkannya di kepala sebanyak tiga kali sehingga sampai ke akar rambutnya.
8. Mengalirkan air ke seluruh tubuh dan menggosok-gosokkan badannya dengan tangannya.
9. Mengerjakannya dengan tertib dan mendahulukan bagian yang kanan.[8]
[1]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid,
Lc., Fiqih Wanita : Dalam
Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer (Surabaya :
Pustaka Hikmah Perdana, 2010). Cet. 1. Hal. 23.
[2]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid,
Lc., Fiqih Wanita : Dalam
Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 24-25.
[3]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid,
Lc., Fiqih Wanita : Dalam
Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 31-32.
[4]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid,
Lc., Fiqih Wanita : Dalam
Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 33-34.
[5]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid,
Lc., Fiqih Wanita : Dalam
Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 34-36.
[6]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid,
Lc., Fiqih Wanita : Dalam
Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 39-40.
[7]Prof. DR. Shalih bin Abdullah Al-Laahim, MA. ; Penerjemah ; DR. Nurul
Mukhlisin, Lc., M.Ag., Fiqih Darah Wanita, (Surabaya : Pustaka
eLBA, 2015). Cet. 2. Hal. 96-97.
[8]Prof. Dr. Mohammed Otsman Al-Khasht ; Penerjemah ; Misbah El-Majid,
Lc., Fiqih Wanita : Dalam
Perspektif Empat Madzhab Dan Telaah Pemikiran Kontemporer...... Hal. 3-4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar